|
Awan hitam yang menggantung di langit seolah tidak dihiraukan sejumlah anak-anak yang tengah asyik bermain kelereng di satu pemukiman Kampung Bulak Barat, Kelurahan Cipayung, Depok, Jawa Barat. "Sambil menunggu bedug berbuka puasa," kata salah satu anak itu. Sementara, sejumlah ibu-ibu terlihat sedang mengangkati pakaian yang telah kering setelah dijemur. Rumpun bambu yang masih cukup lebat di sana bergoyang searah tiupan angin yang semilir. Gesekan ranting dan daun-daun bambu membuat suara yang khas. Kresss... kresss... kresss. Namun semilirnya angin di sana lebih kerap membuat warga masam. Mengapa begitu? Aroma tak sedap katut pula oleh tiupan angin. "Duh aromanya. Biar dicuci pakai sabun yang mutunya bagus, tetap saja bau," ucap Yanah, ibu rumah tangga di sana kepada tetangganya, ketika memindahkan pakaian yang telah kering dari jemuran. Sudah bisa ditebak asal muasal aroma itu. Tak jauh dari Yanah dan tetangganya merupakan lahan tempat pengolahan akhir sampah (TPAS) Cipayung. "Setiap hari warga dikirimi bau sampah," begitu keluhan hampir setiap warga di sana. Tapi kenapa keluhan itu baru sekarang? Pada awalnya, ketika TPAS yang berlokasi di Kecamatan Pancoran Mas itu mulai beroperasi pada tahun 1985,warga menyaksikan pengelolaannya berlangsung baik. Seperti penuturan Ganin, warga di sana, yang ditemui Pembaruan, Minggu (15/10) lalu. Ketika mulai beroperasi, paparnya, sampah di sana memang benar-benar diolah sehingga tidak berbau busuk, seperti sekarang ini. Karena pengelolaannya benar, warga pun tidak mempermasalahkan. Namun dalam perjalanannya kemudian, pengelolaannya kian buruk. Diamati cara memusnahkan sampah dengan menimbun dari waktu ke waktu berubah menjadi hanya menumpuk. Petugas dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Depok, yang sehari-hari disaksikan warga mengelola TPAS, hanya menerima kiriman sampah yang dibawa truk dan kemudian menumpuknya saja. Sudah barang tentu keberadaan TPAS itu dianggap mengganggu. Tak heran bila warga mulai memprotes. Mereka pernah menuntut pemerintah kota agar memberikan pengobatan secara cuma-cuma atas biaya obat Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA). Selain itu, jalan hotmix yang menuju kawasan pembuangan sampah akhir itu haruslah senantiasa bersih. "Jadi di sore hari, setelah truk pengangkut sampah 'ngandang', jalan harus disemprot dan dibersihkan," jelas Ganin. Ia pun menyayangkan, cara pengelolaannya yang kian lama kian buruk itu. "Sistem sanitary landfill sebagai basis utama TPAS seharusnya tidak boleh ditinggalkan," katanya. Keberadaan TPAS yang pengelolaannya kian buruk itu pun dicermati Kantor Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Pada akhir Mei lalu, Deputi V Bidang Penataan Lingkungan, Hoetomo MPA, melayangkan surat kepada Pemerintah Kota Depok yang isinya mengingatkan bahwa umur pakai TPAS Cipayung Depok mesti berakhir pada tahun 2007. Namun, jika ada rencana melakukan pengurangan sampah pada sumbernya, umur TPAS dapat diperpanjang. Untuk itu, KLH memberi rekomendasi, pengkajian kelayakan teknis terhadap lokasi TPAS yang direncanakan dan telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota Depok No 12 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Depok. Ini untuk mengantisipasi bila dalam hasil pemantauan ihwal dampak lingkungan tidak memungkinkan lagi memperpanjang pemakaian TPAS Cipayung. KLH juga minta Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail meninjau kembali instalasi pengolah lindi dan lokasi landfill sampah yang masih di sempadan sungai, yang dinilai melanggar. Ini agar tidak mengganggu fungsi lindung sungai dan sempadan sungai. Wali Kota Depok juga diminta memantau pelaksanaan Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Penataan Lingkungan (RPL) - terkait dengan efektivitas instalasai pengolahan air limbah (IPAL), landfill sampah, pipa pembuangan gas metan, akses jalan masuk dan keluar TPAS Cipayung. Pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL bertujuan agar keluhan dan pengaduan tentang dampak lingkungan diketahui secara ilmiah. Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail, dalam pertemuan dengan wartawan, mengatakan, TPAS Cipayung akan ditutup empat tahun lagi. "Tahun pertama dan kedua volume sampah belum dimungkinkan dikurangi. Tahun ketiga, volume bisa dikurangi, terutama bila unit pengolahan sampah sudah banyak disediakan di berbagai kawasan," paparnya. Selain dari KLH, teguran lainnya juga dilayangkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail diminta untuk menjelaskan keberadaan TPAS di Cipayung yang mulai menuai protes dari warga sekitar. Permintaan penjelasan Komnas HAM tersebut tertuang dalam surat Komnas HAM kepada Wali Kota Depok dengan Nomor 282/rek-ekosob/VI/06 tertanggal 6 Juni 2006. Surat tersebut ditandatangani anggota Sub Komisi Hak Ekonomi Sosial Budaya, H Yuwaldi, SH. Surat itu menanggapi surat pengaduan dari Forpmac dengan nomor 11/FPMC/II/2006 tertanggal 21 Februari 2006, tentang keberatan warga Cipayung atas keberadaan TPAS yang diklaim tidak sesuai dengan Perda Kota Depok No 12 tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). TPAS itu tidak mengikuti prosedur analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan ketentuan dalam standar nasional No 03-3241-1994 tentang pemilihan lokasi TPAS, sehingga warga meminta tempat itu ditutup. Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail pun segera menanggapinya. Katanya, permasalahan sampah dapat diatasi dengan membangun Unit Pengolahan Sampah (UPS) yang ada di beberapa tempat di Kota Depok. Harga satu unit UPS saat ini Rp 600 juta, sedangkan biaya operasional per tahun Rp 290 juta sehingga dibutuhkan dana Rp 880 juta dengan kapasitas satu unit UPS 30 meter kubik per hari. "Tahun ini, UPS disiapkan di 17 tempat di Depok. Pada tahun pertama ini, keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan," kata Nur Mahmudi. Ia mengharapkan dengan adanya UPS tersebut volume sampah yang masuk ke TPAS Cipayung semakin berkurang dan dalam waktu 3-4 tahun ke depan TPAS Cipayung akan bisa ditutup. Sipesat Selain itu, lanjut Wali Kota, penanganan sampah di Depok juga dilakukan dengan menggulirkan program Sistim Pengelolaan Sampah Terpadu (Sipesat). Program alternatif ini untuk mengatasi masalah persampahan yang di wilayah Depok dengan kerja sama antara pemerintah kota, swasta, dan masyarakat. Sistem pengolahannya dilakukan di setiap lingkungan. Diterangkan, program Sipesat ternyata mendapat dukungan dari lapisan masyarakat. Sampai sekarang, lanjutnya, sudah bertambah pembangunan beberapa Sipesat di wilayah di Kota Depok di antaranya Pasar Cisalak, PT Energizer, PT Taspen, BRI, dan PLN. "Sementara di wilayah perumahan sudah dipersiapkan untuk pembangunan di antaranya perumahan Maharaja, Bukit Rivaria Sawangan, Megapolitan, Mahagoni, dan Puri Sriwedari. Kemungkinan masih ada lagi perumahan-perumahan yang lain," ujarnya. Bagaimana dengan pendanaan Sipesat? Nur Mahmudi menerangkan, pembiayaan sebagian dari APBD Depok dengan melibatkan swadaya masyarakat. "Nah untuk target, kami berharap sebelum 2009 mendatang dari pendanaan APBD bisa tercapai 55 Sipesat. Jumlah itu dapat lebih banyak dengan keterlibatan masyarakat," katanya. Nur Mahmudi menambahkan, sampai saat ini Sipesat yang sudah berjalan baru dua yakni, di kelurahan Tugu dan Pasar Cisalak, Kecamatan Cimanggis. Dalam sehari per unit produksi sampah mencapai antara 30-40 meter kubik. "Untuk menyukseskan ini, kami berharap bantuan yang diberikan masyarakat berupa tempat atau barang," ujarnya. Sedangkan TPAS Cipayung yang berada di bawah Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Depok dan menjadi lokasi pembuangan akhir, lanjut Nur Mahmudi, sampah-sampah yang membusuk akan diolah menjadi energi alternatif. "Selama ini sampah selalu menjadi masalah. Semoga dengan pengolahan yang baik dengan program Sipesat, masalah sampah di Kota Depok dapat diatasi," tandasnya. Willy Masaharu Post Date : 17 Oktober 2006 |