|
Hujan adalah hal yang tidak disukai sebagian besar penghuni bantaran kali di Jakarta. "Ya, saat hujan turun hati pasti cemas. Takut kali meluap," tutur Sidik (70), warga RT 07/RW 03, Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, Kamis (13/11) lalu. Selama menetap di sepanjang bantaran Kali Ciliwung, rumah Sidik sudah biasa terendam. Saat banjir besar awal 2007 lalu, rumah yang hanya berjarak 2 meter dari tepi Ciliwung, nyaris hilang, tenggelam. Sidik sadar betul terhadap risiko kebanjiran. Namun, seperti kebanyakan warga yang tinggal di bantaran kali, ia bertahan karena tak punya pilihan tempat tinggal lain. Selama 30 tahun, Sidik telah menjadi penghuni tetap bantaran Ciliwung. Semasa muda, pria asli Betawi ini adalah seorang kuli bangunan. Kini, ia sudah renta. Wajar bila muncul kecemasan pada dirinya. Pada sejumlah kejadian banjir Ciliwung, orang tua seusia Sidik lambat bergerak mengevakuasi diri. Dalam kondisi uzur dan mungkin sakit-sakitan, sementara bantuan evakuasi belum datang, orang-orang seperti Sidik rawan menjadi korban karena kedinginan atau lama terendam. Beban kecemasan Sidik bertambah beberapa pekan belakangan. Bukan hanya soal hujan atau kemungkinan banjir kiriman, melainkan adanya kabar penggusuran penghuni bantaran kali. "Orang susah seperti saya mau tinggal di mana kalau digusur," katanya. Bangunan liar di bantaran membuat lebar kali menyempit sehingga dituding sebagai biang keladi banjir. Pemprov DKI pun mengumandangkan penertiban penghuni pinggiran kali alias normalisasi Ciliwung. Bahkan, kata Sidik, setiap gubernur yang menjabat pernah melontarkan pernyataan akan menertibkan permukiman kumuh di bantaran kali. Tetangga Sidik, Romli (43) berpendapat, rencana Pemprov DKI menertibkan permukiman liar hanya sebuah angan-angan meski sempat pernah ada program bernama Normalisasi Kali Ciliwung. "Kabar penertiban bantaran kali selalu muncul saat banjir datang, nanti kalau sudah tidak ada hujan dan banjir pasti kabar itu hilang. Buktinya hingga sekarang tidak ada penertiban," ungkap Romli, pemilik gubuk berukuran 3x4 meter itu. "Dikasih tinggal di sini (bantaran kali, Red) saja sudah syukur. Daripada belko terus, mana lebih bagus," ujar Romli. Belko yang dimaksud Romli adalah kependekan gembel toko atau gelandangan yang tidur di emperan pertokoan. Lain lagi pendapat Padri (42). Ia mengungkapkan, pernah beberapa kali ada petugas datang mengukur tanah. "Katanya sih mau melebarkan kali meskipun sampai sekarang rencana itu tidak jadi," ujar Padri. Bagaiaman bila Pemprov DKI benar-benar menggusur permukiman di bantaran Ciliwung? Sembilan warga yang kebetulan siang itu berkumpul dan berbincang dengan SP menyatakan jawaban berbeda. Separuh dari mereka setuju direlokasi ke tempat lain. Hanya saja mereka tidak suka tinggal di rumah susun. Sementara itu, beberapa orang lainnya merasa berat untuk dipindah karena sudah puluhan tahun tinggal di sana. Sidik mengaku setiap tahun membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar Rp 80.000 ke kelurahan setempat. Ia juga membayar sewa tanah tempat rumah itu berdiri sebesar Rp 50.000 per bulan. Sayang Sidik enggan menyebutkan kepada siapa menyetor uang itu. Rumah Sidik berloteng dengan dinding terbuat dari triplek. Seperti juga rata-rata rumah di tepi Ciliwung, rumah Sidik dilengkapi listrik dan saluran PAM. Mereka tidak mencuri listrik atau membobol saluran PAM sebab ada meteran terpasang di rumah-rumah permukiman padat itu. Said (46), dalam perbincangan itu, adalah salah seorang warga yang tak setuju penertiban. Lantang ia mengatakan akan menentang pemerintah jika seenaknya menggusur permukiman mereka tanpa uang kompensasi setimpal. Alasan Said, mereka telah membayar PBB setiap tahun dan dalam jangka waktu lama. Di samping itu, Said merasa, tanah yang mereka tempati sekarang ini merupakan tanah warisan turun-temurun. Said menolak pendapat yang menyamakan kondisi tanah yang mereka tinggali seperti tanah yang dikontrakkan kepada mereka. Mengenai pembayaran PBB, Sekretaris Daerah Pempov DKI Jakarta, Muhayat mengatakan, pembayaran oleh warga yang bermukim di bantaran kali memang sudah seharusnya. "Bayar PBB kan kewajiban setiap warga negara. Tapi bukan berarti warga yang bayar PBB memiliki hak atas tanah itu," kata Muhayat. [Hotman Siregar] Post Date : 15 November 2008 |