Nomaden, Antara Mahalnya BBM dan Sulit Air

Sumber:Kedaulatan Rakyat - 06 Oktober 2005
Kategori:Air Minum
AKIBAT kekeringan yang melanda wilayah selatan Gunungkidul, ditambah naiknya harga BBM, dampaknya sangat dirasakan bagi wong cilik. Bagi para keluarga miskin, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, seperti untuk makan, biaya pendidikan saja sulit masih ditambah dengan sulitnya mendapatkan air bersih.

Maka jeritan hati bagi orang kecil ini tak bisa dibendung lagi. Banyak keluarga terpaksa harus menjual apa yang menjadi miliknya untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan dan air. Panen gaplek yang mestinya bisa untuk cadangan pangan menghadapi musim paceklik, terpaksa dijual habis hanya untuk membeli air.

Itulah fenomena yang banyak ditemukan di wilayah zone selatan Gunungkidul yang saat ini sedang dilanda kekeringan, ditambah lagi dengan semakin naiknya harga kebutuhan pokok yang mengakibatkan banyak orang menderita.

Ketika melintasi sepanjang pantai selatan mulai dari Pantai Baron sampai di Pantai Sundak, banyak ditemui gubug-gubug reyot di pinggir pantai. Gubug-gubug yang jumlahnya mencapai ratusan ini bukan sekadar untuk tempat berteduh di kala para petani sedang menggarap lahannya. Namun digunakan untuk tempat tinggal semi tetap.

Gubug yang sebagian beratapkan jerami, dan ada yang sudah menyerupai rumah kampung kecil ini, ternyata digunakan untuk hunian yang dilengkapi dengan peralatan dapur, perabot tempat tidur meskipun hanya seadanya. Di tempat ini juga ada cadangan pangan seperti gaplek. Tidak ketinggalan di sekitar gubug ini juga ada kandang ternak, yang juga berisi ternak sapi dan kambing.

Tempat hunian tiban di pinggir pantai ini banyak ditemui semasa kemarau seperti sekarang ini. Pola kehidupan yang dilakukan warga pesisir selatan Gunungkikdul yang lazim disebut nomaden ini, selain untuk mendekati lahan pertanian, juga untuk mendekati sumber air yang ada di pesisir selatan.

Seperti yang dilakukan oleh Jopawiro (65) penduduk Dusun Ngasem, Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari, yang mengaku setiap musim kemarau tiba rumah yang menjadi tempat tinggal utama di Dusun Ngasem selalu ditinggalkan dan memilih menetap di pinggir pantai dekat Pantai Kukup. Alasan meninggalkan rumah ini, karena di dusun sulit mendapatkan air bersih. Memilih bertempat di gubug karena mudah mendapatkan air bersih, karena memang di sekitar Pantai Kukup ada sumber air permukaan yang dibuat sumur dengan kedalaman 8-10 meter.

Ketika ditemui Jopawiro ini hidup di pinggir pantai bersama isterinya, sementara anak-anaknya tetap menempati rumahnya. Jopawiro bersama isteri ini hidup sangat sederhana, karena tidur hanya beralaskan tikar sobek, tanpa bantal. Demikian pula makan dan minum hanya seadanya. Keluarga ini berada di tempat pengasingan hanya membawa bekal bahan makan berupa beras seadanya dan tepung gaplek, beserta peralatan berupa kendil, tempat untuk menanak nasi, wajan untuk sayur dan ceret untuk merebus air, dan peralatan untuk makan seadannya.

Keluarga ini pulang ke rumah, ketika ada saudara yang punya hajatan atau memang ada keperluan pemerintahan seperti kerja bakti, rapat rakyat dan sebagainya. Yen mboten wonten kepentingan kulo mboten wangsul, kata Jopawiro.

Diakuinya bapak berputra 3, sangat berat dengan berbagai beban hidup yang dihadapi. Di samping harga kebutuhan pokok terus naik. Belum lagi kebutuhan sosial yang sulit dihindari dan biaya sekolah, ditambah lagi dengan beban untuk membeli air yang harganya satu tanki mencapai Rp 60 ribu hanya untuk satu bulan dengan jumlah keluarga 5 jiwa. Untuk itu guna mengurangi beban hidup maka Jopawiro ini memilih mengasingkan diri.(Awa/Her)-b.

Post Date : 06 Oktober 2005