Nobel Lingkungan Pengelola Sampah

Sumber:Majalah Gatra - 17 Juni 2009
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Yuyun Ismawati mendapat penghargaan The Goldman Environmental Prize, berkat kegigihannya mengelola sampah di berbagai daerah. Mengubah paradigma peternak babi. Hotel yang semula menjual sampah, kini harus membayar biaya pengolahan sampah mereka.

Piala itu berupa logam pipih warna emas yang terpancang pada kubus marmer warna hijau. Itulah penghargaan The Goldman Environmental Prize. Pada peringatan Hari Bumi, 20 April lalu, Yuni Yunia Ismawati mendapatkan penghargaan yang sering dijuluki sebagai ''Nobel Lingkungan'' itu. Wanita setengah baya yang biasa dipanggil Yuyun itu juga menerima piagam penghargaan berbingkai kayu dan hadiah senilai US$ 150.000, atau setara dengan Rp 1,6 milyar.

Dia menerima penghargaan itu bersama penggiat lingkungan dari Gabon, Bangladesh, Rusia, Amerika Serikat, dan Suriname. Melalui seremoni meriah yang digelar di San Fransisco dan Washington DC, Amerika Serikat, penggiat lingkungan yang pada 17 Juni ini berusia 45 tahun tersebut mendapatkan penghargaan bidang pembangunan berkelanjutan untuk kategori pulau dan negara kepulauan. Dia dinilai gigih menggerakkan masyarakat untuk mengelola sampah dan memperbaiki sanitasi.

The Goldman Enviromental Prize dimulai pada 1989 dan sudah diberikan kepada 133 aktivis dari 75 negara. Yuyun berhasil menyingkirkan 200 pesaing dari seluruh dunia. Perjuangannya sejak 1994 dinilai memiliki pengaruh besar pada pengelolaan sampah di kota dan desa. Melalui lembaga Bali Fokus yang ia pimpin, Yuyun mengembangkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat.

Salah satu terobosannya adalah pengelolaan sampah perhotelan. Dengan mendirikan PT Jimbaran Lestari, ia mengelola sampah hotel menjadi komoditas yang dicari pemulung hingga peternak babi. PT Jimbaran Lestari mampu mengolah sampah dari 25 hotel berbintang, hotel lokal, dan tempat usaha lain. PT Jimbaran mengolah sampah itu untuk dimanfaatkan kembali.

Yuyun mengatakan, ia membagi pengelolaan sampah ke dalam tiga model, yaitu private model, komunitas, dan skala kota --tempat pembuangan akhir (TPA). ''Nah, yang di Temesi, Gianyar, adalah model skala kota,'' katanya. Toh, penghargaan The Goldman Environmental Prize bukan semata-mata karena programnya di Temesi. Mereka melihat konsistensi dan kegigihan seseorang.

Pengelolaan sampah privat baru ada di Bali, yaitu PT Jimbaran Lestari. ''Karena ada banyak permintaan, kami juga menyiapkan untuk di Jawa,'' katanya. Sedangkan komunitas ada di tujuh kota, yakni Denpasar, Nusa Dua, Tarakan, Sidoarjo, dan Tangerang. ''Aku membikin beberapa model, karena aku percaya kelanjutan pengembangannya harus ditopang tiga pilar, yaitu pemerintah, masyarakat setempat, dan sektor swasta,'' katanya.

Model single line management pembuangan sampah di Indonesia, yakni dari rumah, ke pembuangan sementara, lalu berakhir di TPA, dinilai Yuyun, tidak efektif. ''Karena hampir semua dinas kebersihan kota cuma sanggup menangani 40% sampai 60% dari total keseluruhan sampah,'' katanya. Meskipun Millenium Development Goal mencanangkan penanganan sampah mencapai 80% pada 2015, menurut pandangan Yuyun, sampah tetap harus ditangani seluruhnya.

Kendala yang dihadapi adalah undang-undang otonomi daerah, karena tidak semua daerah memiliki interest ataupun kapabilitas yang sama untuk menangani problem sampah. ''Makanya, coverage 40% sampai 60% itu tidak pernah naik dalam waktu lima sampai 10 tahun belakangan ini,'' katanya.

''Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, disebutkan bahwa sampah harus dipilah dan seminimal mungkin dibuang ke TPA,'' katanya. Namun, undang-undang itu tidak memasang target maksimal sampah yang dibuang. ''Indonesia tidak seberani Filipina, yang memasang target pembuangan sampah sebesar 25% dalam lima tahun ke depan,'' Yuyun menjelaskan.

Ia menganjurkan perubahan paradigma pembuangan sampah, tidak lagi sekedar angkut-kumpul-buang. Harus ada usaha meminimalkan, mendaur ulang, dan efisiensi manajemen sampah, sebagaimana dilakukan PT Jimbaran Lestari. PT Jimbaran Lestari memiliki 40 pekerja tetap dan 160 pekerja temporer. ''Selain menciptakan lapangan kerja, sampah juga sebuah sustainable business, selama masih ada aktivitas manusia,'' katanya sambil tertawa.

Menurut Yuyun, sebagian besar pengangkut sampah di PT Jimbaran Lestari awalnya adalah peternak babi, yang biasa membawa sampah dari hotel-hotel. Mereka sekarang subkontraktor pengangkut sampah. Sebelum bekerja sama dengan PT Jimbaran Lestari, peternak babi hanya tertarik pada sampah hotel berupa food scrap yang bisa digunakan sebagai pakan ternak. ''Karena itu lebih murah, dan bikin babinya cepat gemuk,'' katanya.

''Sudah begitu, mereka membayar pada hotel,'' katanya. Kondisi itulah yang membuatnya kecewa, karena hotel sebagai industri terkesan tidak mau bertanggung jawab menangani limbah aktivitas mereka. ''Mereka seharusnya bertanggung jawab membersihkan itu, memastikan limbah mereka dibuang, dan dikelola dengan baik dan benar,'' ia menegaskan.

Dia bercerita tentang hotel yang pernah diprotesnya karena menerima uang dari peternak babi. ''Hotel harusnya membayar, bukannya menerima uang,'' katanya. Dari situ, Yuyun menganggap bahwa tantangan sebenarnya adalah mengubah sikap hotel yang tadinya dibayar untuk sampahnya menjadi membayar untuk sampah mereka. Ia lalu mengubah peternak babi menjadi pengangkut sampah.

''Orang hotel sempat complain, karena mereka biasanya terima Rp 600.000, lalu setelah itu mereka jadi harus membayar sekitar Rp 4 juta per bulan,'' ujar Yuyun. Untuk meyakinkan agar pihak hotel mau membayar, Yuyun harus menjabarkan secara detail biaya-biayanya. ''Padahal, dibandingkan dengan pendapatan mereka dari sewa kamar, jumlah itu tidak seberapa,'' ia menambahkan.

Yuyun juga menunjukkan kegiatan PT Jimbaran Lestari. Di bagian belakang kantor, terdapat bangunan menyerupai gudang. Dari sanalah tercium bau sampah basah, karena di tempat itu terdapat pemilahan sampah organik dari hotel berupa sisa-sisa makanan. ''Hmm... smell of life,'' kata Yuyun sambil tersenyum.

Tiga ibu memilah-milah dan mencacah sisa makanan. Meski bau tak sedap menyengat, mereka mengaku sudah biasa. Di bagian lain merupakan tempat pengumpulan sampah kering, berupa tumpukan kardus, boks susu, dan plastik.

Selepas kunjungan di tempat pemilahan, Yuyun mengajak Gatra ke lapangan di samping kantor PT Jimbaran Lestari. Di sana terdapat tumpukan sampah kompos dari hotel. Di setiap tumpukan terdapat papan nama hotel-hotel berbintang lima yang terletak di kawasan Kuta sampai Nusa Dua. ''Di sini letak pengumpulan sampah kompos dari hotel-hotel,'' katanya. Sampah-sampah itu kemudian diolah dengan mesin.

Selain sampah, Yuyun mengaku, dirinya juga membantu mengolah limbah rumah pemotongan hewan. ''Kita dapat bantuan dari pemerintah Jerman Rp 350 juta dan dari pemerintah daerah Rp 350 juta,'' katanya. Sebelumnya, air limbah berupa darah dan isi perut hewan tercecer tak beraturan, kini sudah terkelola dengan baik. Rohmat Haryadi dan Cavin R. Manuputty



Post Date : 17 Juni 2009