|
Sekitar 6000 ton benda buangan ditumpuk di sebuah lokasi. Campur aduk segala macam ampas keseharian hidup, di ujung mata rantai budaya. Tumpukan sebanyak itu secara terus- menerus ditambah, sejumlah itu lagi. Setiap hari, seperti deret hitung ini sungguh bukan kisah fiktif. Sedemikian nyata, hampir tak menuntut imaginasi kita untuk membayangkannya. Benda yang dimaksudkan kasat mata adanya. Hanya satu kata untuk itu : SAMPAH residu penopang hayati manusia dalam mekanisme peradabannya. Volume 6.000 ton identik dengan 27.966 meter kubik atau 2,97 liter/jiwa. Itulah produksi sehari-hari manusia se-Jakarta. Di bentangan wilayah 650 km persegi ibu kota Negara, malam hari berpenduduk 8,9 juta jiwa dan menjadi 13 juta jiwa ketika disinari mentari. Data berbicara: lebih dari separuh sampah berasal dari permukiman. Entah itu permukiman nan tertata, terlebih dari daerah hunian yang tumbuh secara suka-suka. Jika dirinci menurut wilayah administratif, Jakarta Pusat tercatat 5.280 m persegi, Jakarta Utara: 4.408 m persegi, Jakarta Barat: 6.000 m persegi, Jakarta Selatan: 6.718 m persegi, Jakarta Timur: 6.060 m persegi. Studi yang dilaksanakan melalui program Western Java Environmental Management Project (WJEMP) denganpemusatan perhatian pada Solid Waste Management For Jakarta : Master Plan Review and Program Development membuahkan laporan sebagai berikut: sektor perumahan menyumbang 3.178 ton sampah/hari atau 52,97%, dariperkantoran sebesar 1.641 ton atau 27,35%, dari industri 538 ton atau 8,97%, dari sekolah 319 ton atau 5,32%, dari pasar 240 ton atau 4,00%, dari sumber lainnya 84 ton atau 1,40%. Sejauh ini, sampah DKI dikelola berdasarkan Master Plan 1987 2005. Basis operasionalnya adalah pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir. Tahap pengumpulan diwujudkan melalui upaya dari pintu ke pintu, gerobak sampah dan penyapuan. Tahap pengangkutan mengungsikan sampah ke 2 buah Stasiun Peralihan Antara (SPA) besar (di Sunter dan Cacing, dan SPA kecil 13 buah yang tidak terwujud). Truk container/kapsul yang dirancang juga tidak terlaksana. Tahap paling ujung adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan teknologi sanitary landfill di belahan Timur (Bantargebang, Bekasi), dan TPA sanitary landfill di belahan barat yang tak terlaksana. Untuk sebuah megapolitan Jakarta, menyediakan prasarana penanggulangan sampah yang memadai sungguh susah. Dan itu tak mendekatkan realita pada hasrat Menjadikan Jakarta kota yang bersih, sebersih ibukota negara yang telah maju yang digariskan sebagai visi Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta. Jabaran visi ini dapat dielaborasi ke dalam tiga benang merah, yakni (1) pengelolaan yang efektif, efisien, ramah lingkungan dan teknologi modern; (2) sinergi antara pemerintah, swasta dan masyarakat, dan (3) sampah menjadi sumber daya. Untuk merealisasikan hal yang tampak muluk tapi bukannya musykil itu, kepedulian seluruh pihak menjadi prasyarat mutlak. Mengantisipasi pertumbuhan penduduk dengan segenap ikutannya, khususnya timbulan sampah yang bakal bertambah, sebuah Action Plan Jangka Menengah (2005-2015) terus disempurnakan untuk menghasilkan Master Plan 2025 yang komperehensif. Prinsip terpenting dalam pengelolaan sampah Jakarta adalah mengubah pengelolaan terpusat menjadi dekonsentrasi di 4 daerah Pelayanan di wilayah Jakarta yang masing-masing dilayani oleh ITF (Intermediate Treatment Facility). Prinsip lain yang ditegakkan bersamaan dengan itu adalah: ramah lingkungan; menerapkan multiteknologi (sanitary landfill; composting; mass burn with energy recovery/waste to energy; dan incineration) sesuai dengan kebutuhan obyektif perwilayah; tata regulator/operator; pelibatan peran serta swasta dan masyarakat (dari operator ke investor plus operator); jalinan kerjasama regional; dan pay as you throw. Dengan pilihan teknologi yang sesuai, sampah layak disikapi sebagai sumber energi listrik yang terbarukan (renewable). Model seperti Waste to Energy mendukung maksud tersebut. Dari sampah dikonversi menjadi sumber listrik. Post Date : 28 Desember 2005 |