|
[NUSA DUA] Reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) sebagai sebuah pendekatan baru akan diupayakan masuk dalam Komitmen Periode Kedua Protokol Kyoto pasca 2012 pada rangkaian perundingan 13th Session Conference of Parties (COP) to UN Framework Convention on Climate Change dan 3rd Session Meeting of Party to Kyoto Protocol, di Nusa Dua, Bali, 3-14 Desember. "Tujuan akhir kita adalah bagaimana program REDD bisa dimasukkan ke dalam keputusan di COP 13," ungkap Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Hadi S Pasaribu menjawab SP Senin (10/12). Dari hasil perundingan contact group hingga Senin siang, delegasi Indonesia berkesimpulan proses perundingan program REDD yang sedang berlangsung berjalan sangat lambat. "Ada draf teks soal REDD yang tidak disetujui oleh negara-negara maju," katanya. Dikatakan, negara-negara maju keberatan jika kewajiban pendanaan (financial obligation) dimasukkan ke dalam draf keputusan COP 13. "Kalau kewajiban pendanaan dimasukkan ke dalam teks, berarti ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara-negara maju. Mereka mengusulkan, bantuan pendanaan agar bersifat sukarela. Prinsipnya, mereka ingin membantu tetapi tidak dalam konteks kewajiban," ujar Hadi. Perundingan tentang program REDD di contact group mengerucut pada persoalan, apakah REDD akan diimplementasikan secara langsung atau akan diluncurkan terlebih dahulu dalam bentuk proyek percontohan. Brasil dan Tiongkok ingin agar program REDD dapat langsung diimplementasikan. "Mereka merasa tidak perlu proyek percontohan, tapi ingin implementasi langsung," kata Hadi. Sebaliknya, Indonesia, negara-negara maju, serta sejumlah negara di Afrika menginginkan agar program REDD diluncurkan dalam bentuk proyek percontohan terlebih dahulu. Pasalnya, metodologi dan skema yang cocok untuk tiap lokasi di tiap negara dinilai masih perlu dicari terlebih dahulu. "Negara-negara donor tidak ingin ada implementasi langsung, tetapi ingin agar skema-skema yang tepat dapat dicari terlebih dahulu," katanya. Selain itu, mengacu pada fakta bahwa baik Indonesia maupun sejumlah negara Afrika belum punya pengalaman tentang skema mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM), maka pelaksanaan REDD dalam bentuk proyek percontohan terlebih dahulu dirasakan lebih tepat. Draf Keputusan Sementara itu, Direktur Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri RI, Rezlan Izhar Djenie mengatakan delegasi RI menyambut positif hal-hal yang sudah dituangkan dua fasilitator perundingan, yakni Afrika Selatan dan Australia, ke dalam draf teks keputusan COP 13. Pasalnya, mereka telah berupaya menangkap hal-hal yang menjadi pembahasan hingga sebuah draf teks berhasil dikeluarkan. Negara-negara berkembang yang tergabung dalam Kelompok 77 kemarin telah melakukan kajian pertama terhadap draf keputusan. Draf keputusan itu sendiri masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Pandangan negara-negara berkembang terhadap draf teks keputusan COP 13 disampaikan oleh Brasil sebagai Ketua Kelompok 77 dan Tiongkok dalam contact group. Tetapi, pembicaraan yang difasilitasi Afrika Selatan dan Australia belum sampai ke redaksional, melainkan sekadar bertukar pandangan tentang hal-hal yang ada di dalam draf keputusan. "Indonesia, sebagai delegasi maupun tuan rumah, ingin mendorong pembahasan-pembahasan agar dapat menghasilkan sesuatu sebagaimana diharapkan dalam Konferensi Bali, yakni keluarnya Bali Roadmap menuju pasca-2012," kata Rezlan. [E-9] Post Date : 11 Desember 2007 |