|
Jakarta, Kompas - Negara-negara maju yang masuk kelompok Annex I di bawah skema Protokol Kyoto tetap harus mengambil tanggung jawab terbesar dalam target pengurangan emisi. ”Keputusan pertemuan di Bangkok, bahwa mekanisme seperti CDM (Mekanisme Pembangunan Bersih) hanya sebuah kelonggaran bagi negara Annex I, sangat krusial bagi perkembangan negosiasi perubahan iklim, termasuk yang terkait isu mekanisme penurunan emisi gas rumah kaca,” kata Manajer Program dan Informasi-Komunikasi Yayasan Pelangi Gustya Indriani di Jakarta, Selasa (22/4), dalam rangka menyambut Hari Bumi. Setelah Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali, pertemuan Kelompok Kerja Ad Hoc (AWG) Annex I di bawah Protokol Kyoto diadakan di Bangkok, Thailand, dan berakhir 4 April 2008. Saat ini banyak negara Annex I memanfaatkan mekanisme perdagangan karbon untuk memenuhi target penurunan emisi mereka dengan biaya murah di negara berkembang. Sementara upaya penurunan emisi secara domestik tidak sepadan. Data PBB menunjukkan, emisi negara-negara maju pada tahun 2005 justru meningkat dibandingkan dengan emisi gas rumah kaca mereka tahun 1999. Idealnya, lanjut Gustya, sebagian besar penurunan emisi negara maju harus dilakukan di dalam negeri. Desakan lain, perlu ada batas maksimum jumlah sertifikat pengurangan emisi yang boleh dijual sebuah negara. Tujuannya, pemerataan proyek CDM secara regional. Sejauh ini baru dua proyek CDM di Indonesia yang disetujui badan eksekutif dan menerima insentif pendanaan. Di India, China, dan Malaysia sudah puluhan proyek CDM disetujui. Sorotan lain dari Gustya adalah sumber dana adaptasi perubahan iklim bagi negara-negara berkembang dan miskin agar ditambah. Selain dari proyek CDM, juga harus ada dari mekanisme lain antarnegara maju. Dorongan masyarakat Soal tarik-menarik negara maju dan berkembang, utara dan selatan, menurut Erna Witoelar, pendiri berbagai organisasi lingkungan dan mantan Duta Besar Khusus PBB untuk Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), kini sudah mulai berubah. ”Mereka sudah memberikan komitmen masing-masing. Jadi bukan kita bilang, ’dia menggunakan lebih’, namun dikatakan, (pemulihan) tidak bisa cepat tanpa kerja sama internasional,” ujar Erna. China, India, dan Indonesia juga sudah memberikan komitmen. Indonesia, misalnya, memberikan komitmen mengurangi emisi karbon dari kebakaran hutan. Menurut Erna, di negara maju yang terjadi adalah masyarakatnya yang mendesak. Masyarakatnya malu kalau pemerintahannya tak berwawasan lingkungan. ”Seperti di Australia dan di Amerika, juga Jerman,” ungkapnya. Di Indonesia, tambahnya, masalah politik masih mendapat porsi besar, sementara lingkungan belum. ”Seharusnya lingkungan juga merupakan kepentingan politik. Masyarakat harus tahu calon mana yang punya kepedulian lingkungan,” katanya. Sementara itu, masyarakat sebagai pribadi, tambahnya, ”Apa pun yang diperbuat jangan merasa terlalu kecil, karena kalau itu dikalilipatkan sekian orang akan menjadi besar. Kalau kita berada dalam posisi bisa berbuat lebih banyak, berbuatlah lebih banyak,” ujar Erna. Sementara itu, di berbagai kota, Hari Bumi dirayakan dengan berbagai cara. Di Bandung, sekitar 30 siswa kelas I dan II SMA, antara lain dari Manado, Padang, Malang, Bandung, dan Jakarta, melakukan simulasi Sidang Umum PBB membahas perubahan iklim pada kegiatan ”Selamatkan Atmosfer untuk Kehidupan Manusia Melalui Pengurangan Emisi”. Di sana, siswa-siswa dengan berbahasa Inggris beraksi sebagai diplomat dari negara-negara peserta sidang. Acara dilangsungkan di Gedung Asia Afrika. Di Kalimantan Tengah dan di Kalimantan Timur, peringatan Hari Bumi dilakukan dengan acara beragam. Di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dilakukan penanaman pohon di tepi jalan utama dan sekeliling Stadion Tjilik Riwut. Di Pangkalan Bun, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Barat, dilakukan pembersihan sampah di Sungai Arut. Adapun di Samarinda, Kalimantan Timur, mahasiswa setempat bersepeda massal keliling kota. Manajer Komunikasi Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Mawas di Palangkaraya, Nina Nuraisyah, menuturkan, 800 pohon mahoni dan tanjung ditanam pada kegiatan ini. ”Untuk penyadaran, penanaman pohon penting untuk mengurangi emisi karbon,” katanya. Kegiatan itu melibatkan konsorsium Central Kalimantan Peatland Project, terdiri dari WWF, BOS, Care, Wetlands International, Lembaga Perkumpulan Orang Borneo, dan mahasiswa Universitas Palangkaraya, melibatkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah, juga pelajar SMP dan SMA. Di Taman GOR Palu dilakukan pelepasan balon warna-warni sebagai simbol kondisi bumi yang rusak—yang disimbolkan dengan balon warna kuning dan merah. (GSA/CAS/BRO/JON/REN/isw) Post Date : 23 April 2008 |