|
[NUSA DUA] Negara-negara industri maju hendaknya lebih aktif dalam kemitraan untuk mengatasi perubahan iklim. Tetapi, di saat yang sama, negara-negara berkembang juga harus memberikan kontribusi dalam inisiatif-inisiatif untuk mengatasi perubahan iklim. "Kita harus berbuat lebih banyak untuk mengatasi perubahan iklim. Dalam sebuah kemitraan global tiap-tiap negara harus ikut ambil bagian di dalam upaya penyelesaian masalah," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka Pertemuan Tingkat Tinggi pada Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, Rabu (12/12) pagi. Pembukaan itu dihadiri pula Sekjen PB Ban Ki-moon, PM Australia Kevin Rudd, Presiden COP 13 Rachmat Witoelar, dan sejumlah kepala negara dan pemerintahan lainnya. Dalam pidato tersebut Presiden Yudhoyono menyampaikan penghargaan setinggi- tingginya terhadap kebijakan PM Australia yang baru, Kevin Ruud, untuk meratifikasi Protokol Kyoto. Ucapan selamat juga disampaikan Yudhoyono kepada mantan Wapres AS, Al Gore yang telah memenangi Hadiah Nobel Perdamaian atas inisiatifnya mengatasi perubahan iklim. Presiden mengatakan, perubahan iklim adalah masalah yang sangat kompleks. Komunitas internasional sebenarnya telah memiliki mekanisme untuk mengatasinya, yakni Protokol Kyoto. "Protokol Kyoto ternyata tidak cukup untuk mengatasi masalah karbon. Sepuluh tahun setelah Protokol Kyoto ternyata tidak ada perubahan pada tingkat emisi karbon yang ada di atmosfer. Ini tidak bisa diteruskan,'' kata Presiden. Ia mengatakan, upaya untuk mengatasi perubahan iklim hendaknya tidak dijadikan sebuah momentum bagi satu pihak dan pihak lain untuk saling menyalahkan. "Selama bertahun-tahun kita tidak mempunyai konsep yang cukup kuat untuk melakukan reduksi emisi karbon guna mengatasi perubahan iklim," kata Yudhoyono. Pertemuan Bali, lanjut Presiden, hendaknya dijadikan sebuah momentum bagi negara-negara maju dan berkembang untuk menciptakan kemitraan global dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Dalam pidato tersebut, sedikit "teguran" Presiden Yudhoyono terhadap AS yang sejauh ini tetap menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto. AS dalam perundingan-perundingan di Konferensi Bali juga bersikeras menolak mandat bersifat mengikat di dalam Komitmen Periode Kedua Protokol Kyoto pasca-2012. "Amerika punya kedudukan penting baik sebagai pemilik teknologi, sekaligus sebagai negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, untuk dapat berperan lebih aktif mengatasi perubahan iklim,'' ungkap Presiden yang disambut dengan tepuk tangan seluruh delegasi yang hadir dalam pembukaan pertemuan tingkat tinggi tersebut. Yudhoyono mengatakan, upaya-upaya melaksanaan pembangunan dan pengentasan kemiskinan hendaknya dapat dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Pemerintah Indonesia sendiri telah menetapkan target-target yang menciptakan sinergi antara pelaksanaan pembangunan dengan tetap mempertahankan kelestarian lingkungan. Sebelumnya, Sekjen PBB Ban Ki-moon dalam sambutannya mengatakan, Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim adalah momen yang bersejarah yang dinanti-nantikan oleh komunitas internasional. Banyak peluang ada pada Konferensi Bali untuk meng-gagas inisiatif-inisiatif global dalam menghadapi tantangan perubahan iklim yang dam-pak buruknya sudah makin nyata. "Panel Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sudah memperingatkan bahwa jika kita tidak melakukan apa pun, akan banyak konsekuensi-kosekuensi perubahan iklim yang harus dihadapi, seperti kekeringan, meningkatnya ketinggian permukaan air laut, banjir, tanah longsor, hingga hilangnya spesies-spesies tertentu flora dan fauna," kata Sekjen PBB. [E-9/E-7/137] Post Date : 12 Desember 2007 |