[KOPENHAGEN] Kekhawatiran akan ketidakkompakan negara-negara berkembang yang bergabung dalam kelompok 77 (G-77) dalam konferensi tingkat tinggi perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark, mulai terasa. Beberapa negara kepulauan kecil dan sejumlah negara miskin di Afrika, Rabu (9/12) yang mendesak adanya kesepakatan yang mengikat berupa sanksi ketimbang hanya melanjutkan isi Protokol Kyoto dalam hasil Konferensi Kopenhagen, kurang direspons anggota G-77 lainnya..
Negara-negara kepulauan dan negara miskin dari Afrika tersebut menilai, sanksi sangat diperlukan agar negara maju atau negara berkembang tidak mengingkari hasil kesepakatan. Mereka juga beranggapan, isi Protokol Kyoto bisa dijalankan dengan baik jika ada sanksi.
Namun, Tiongkok, India, dan Afrika Selatan dilaporkan tidak menyetujuinya. Ketiga negara itu beranggapan pemberian sanksi tidak diperlukan selama ada niat baik untuk menjalankan isi kesepakatan. Seorang sumber delegasi negara kecil Afrika, Tuvalu, yang tidak ingin dikutip namanya mengungkapkan, tiga negara itu tidak ingin perekonomian mereka terganggu.
"Sanksi itu bisa dalam banyak hal. Salah satunya mungkin melarang negara pelanggar perjanjian mengekspor produknya ke negara lain. Ini pastinya bisa mengganggu ekonomi mereka," katanya.
Lebih lanjut, delegasi tersebut juga mengatakan, perundingan perubahan iklim perlu ditunda sementara dengan mengistirahatkan para delegasi selama satu hari. Diharapkan, dengan adanya jeda, agar para delegasi lebih leluasa berpikir.
Pendanaan Masih Alot
Sementara itu, Indonesia bersama negara-negara berkembang lainnya akan terus mengupayakan agar COP 15 konferensi perubahan iklim yang saat ini berlangsung di Kopenhagen dapat menghasilkan kesepakatan mengenai mekanisme pendanaan.
Hal ini sangat penting untuk mendukung kegiatan persiapan, demonstrasi uji coba dan pengembangan mekanisme Reduction Emission From Deforestation and Degradation (REDD) secara menyeluruh.
Hal itu disampaikan Staf Khusus Menteri Kehutanan bidang Kemitraan, Wandojo Siswanto, pada siaran pers briefing Delegasi Indonesia mengenai REDD, di Kopenhagen, Denmark, Rabu (8/112).
Sementara itu Kepala Divisi Komunikasi Dewan Nasional Perubahan Iklim, Amanda Katili mengatakan, perundingan mengenai pendanaan masih berjalan alot, karena pandangan negara maju masih berbeda secara prinsipil dengan negara berkembang yang diwakili oleh kelompok G-77 dan Tiongkok.
Menurut Amanda, negara-negara maju menganggap mekanisme Global Environment Facility (GEF) harus tetap dipertahankan sebagai mekanisme multilateral untuk pendanaan perubahan iklim. Padahal, pada pertemuan UNFCCC sebelum Kopenhagen, tuturnya, GEF disepakati sebagai interim arrangements sampai adanya suatu mekanisme yang dibentuk dan disepakati oleh COP 15, struktur pengambilan keputusan tertinggi di dalam UNFCCC.
Rachmat Witoelar, Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim menjelaskan, pendanaan harus juga ditinjau dari sisi pemberdayaan, terutama bagaimana memberdayakan mereka yang tidak mampu mengurangi kerentanan dan melindungi diri dari dampak perubahan iklim. [un.org/WID/E-7]
Post Date : 10 Desember 2009
|