[KOPENHAGEN] Negara-negara berkembang yang tergabung dalam G-77, Senin (14/12), melakukan boikot selama lima jam setelah menuduh Barat melakukan tipu muslihat pada konferensi perubahan iklim di Kopenhagen. Boikot yang dipimpin Afrika itu berakhir setelah mereka mendapat jaminan, bahwa konferensi itu tidak akan mengesampingkan pembicaraan tentang masa depan protokol Kyoto, yang mengikat negara-negara kaya yang telah meratifikasinya untuk melaksanakan pengurangan emisi gas.
Kecuali Amerika Serikat (AS), yang menolak protokol Kyoto karena dinilai tidak adil, sebab hanya mengikat negara-negara kaya, tapi tidak terhadap negara berkembang yang juga telah menjadi penghasil emisi gas dalam jumlah besar, seperti Tiongkok. Sekjen PBB Ban Ki-Moon mengingatkan waktu terus berjalan.
"Jika semuanya tergantung pada para pemimpin untuk memutuskan pada saat-saat terakhir, kita terancam hanya akan mendapat perjanjian yang lemah atau tidak ada sama sekali," kata Ban. Hal senada disampaikan Menteri Lingkungan Swedia Andreal Carlgren, yang negaranya kini memegang rotasi kepresidenan Uni Eropa.
"Kita berlomba melawan waktu. Dunia sudah menunggu lama," ucapnya. Wakil Menteri Luar Negeri Tiongkok He Yafei mengatakan, Tiongkok tidak mau menjadi pihak yang bersalah jika terjadi kegagalan. "Saya tahu orang akan mengatakan jika tidak ada perjanjian, maka Tiongkok yang harus disalahkan, ini trik yang dimainkan negara maju," katanya.
Dikesampingkan
Kelompok negara-negara berkembang G-77 juga menyebutkan, mereka dikesampingkan dari pembahasan kunci oleh Denmark, yang menjadi ketua konferensi. "Kami menghadapi proses di mana kami tidak dilibatkan dan kami sangat prihatin dengan hal itu," kata Bernadita de Castro Muller, koordinator G-77.
Dia menuding, proses pembicaraan di konferensi itu berlangsung sangat tidak demokratis dan tidak transparan. Kelompok aktivis Greenpeace mengatakan, konferensi hanya memiliki lima hari lagi untuk menghindari terjadi kekacauan karena perubahan iklim.
Ilmuan mengatakan, tanpa adanya aksi yang dramatis, pemanasan global akan memicu terjadinya kekeringan, banjir, badai, dan meningkatnya ketinggian permukaan laut. Berbagai persoalan itu di antaranya akan berdampak pada kelaparan dan penderitaan bagi jutaan umat manusia.
Laporan terbaru PBB menyebutkan, sekitar 58 juta orang telah menderita karena 245 bencana alam sepanjang 2009, yang lebih dari 90 persen adalah karena cuaca yang dipengaruhi perubahan iklim. [AFP/B-14]
Post Date : 15 Desember 2009
|