|
Warga Bojong kembali menggagalkan rencana uji coba pengolahan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bojong, Bogor. Padahal, tadinya 500 ton sampah dari Jakarta per hari akan dikirim ke TPST itu mulai 3 Agustus 2005 lalu. Namun rencana ini kembali dihadang warga yang khawatir terganggu sampah. Sejumlah warga Bojong memblokade Jalan Raya Bojong. Batu-batu diserakkan, pohon-pohon ditebang dan digeletakkan di jalan untuk menghalangi truk sampah yang akan melintas. Akibatnya, PT Wira Guna Sejahtera tidak mungkin menguji coba mesin-mesin pengolah sampah mutakhirnya. Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso di Balaikota DKI pada hari itu pun menyatakan agar uji coba Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong tetap dilaksanakan. Namun hal itu tidak mungkin dilakukan. Pembatalan uji coba itu dengan tujuan agar tidak mengulang kerusuhan yang pernah terjadi di tempat serupa, Senin, 22 November 2004. Kerusuhan saat itu diwarnai penembakan oleh polisi yang mengenai sedikitnya lima warga Bojong, yang kemudian dirawat di Rumah Sakit Kepolisian Soekanto di Kramat Jati, Jakarta Timur. Direktur Utama PT Wira Guna Sejahtera Sofian Hadiwijaya mengatakan, beberapa kontainer sampah dari Jakarta waktu itu sebenarnya sudah dikirim menuju TPST Bojong. Tetapi sebagian urung dan terpaksa diparkir di sekitar Taman Buah Mekarsari, Cileungsi, Bogor. Tak terkira amuk massa saat itu. Warga membakar berbagai aset TPST, termasuk enam mobil dan tiga sepeda motor. Empat mobil lainnya dan satu mobil patroli Kepolisian Resor Bogor turut dirusak, tetapi tidak dibakar. Bukan Bantar Gebang Kepala Dinas Kebersihan DKI Rama Boedi yang ditemui Kompas, Jumat (5/8), berusaha memberikan pemahaman secara lengkap, betapa mesin-mesin pengolahan sampah di TPST Bojong saat ini perlu diuji coba. Dari pengolahan sampah itu diharapkan akan dihasilkan bahan-bahan produktif. Di antaranya bahan untuk membuat konblok dan batako. Tentu saja itu juga bukan semata karena Pemerintah Provinsi DKI telah mengalokasikan dana sedikitnya Rp 43 miliar. TPST Bojong bukan Bantar Gebang. Seharusnya diberi kesempatan untuk melaksanakan uji coba mengolah 500 ton sampah dalam sehari. Selebihnya, sekitar 5.500 ton per hari sampah dari Jakarta tetap dibuang ke Bantar Gebang, kata Rama. Namun, warga Bojong yang dekat dengan Bantar Gebang itu tentu saja tahu betapa pembuangan sampah dari Jakarta di daerah tetangganya itu telah menciptakan gunungan sampah. Mereka tak ingin gunungan sampah berikut dampaknya itu berpindah ke Bojong. Menurut Rama, perbedaan penanganan sampah antara TPST Bojong dan Bantar Gebang hendaknya menjadi pertimbangan. Teknologi TPST Bojong memiliki prinsip 3 R (reduce, reuse, dan recycle). Artinya, sampah yang terbuang sekecil mungkin. Caranya, dengan memanfaatkan kembali sampah yang bisa dimanfaatkan, kemudian mendaur ulang sampah menjadi bahan lain yang bermanfaat dan bernilai ekonomis. Ini berbeda dengan di Bantar Gebang yang menggunakan teknologi sanitary landfill. Teknologi yang juga mengandalkan mikroorganisme pengurai sampah organik itu sayangnya kemudian hanya seperti penimbunan sampah. Ratusan pemulung yang sehari-hari mengais sampah di Bantar Gebang, khususnya sampah anorganik, ternyata tak juga mampu mencegah atau mengurangi timbunan sampah. Sanitary landfill di Bantar Gebang tidak bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Rama, hal itu terjadi karena kapasitas sampah dari Jakarta sudah sangat berlebihan. Sebab, kata Rama, idealnya hanya 1.500 sampai 2.000 ton sampah dari Jakarta yang masuk ke Bantar Gebang setiap hari. Akan tetapi, Bantar Gebang saat ini harus menampung sampai 6.000 ton. Rama juga menyinggung, perkembangan otonomi daerah telah menimbulkan perubahan pelaksanaan master plan pengelolaan sampah dari Jakarta. Contohnya, master plan tahun 1987 telah menjadikan daerah luar kota Jakarta, meliputi Ciangir di Tangerang dan Bantar Gebang di Bekasi, sebagai tempat pengolahan sampah dari Jakarta. Namun, rencana membangun TPA sampah di Ciangir seluas lahan terbeli 100 hektar itu kandas. Sampai sekarang hamparan lahan itu menjadi kosong karena penolakan warga dan Pemerintah Daerah Tangerang. Bantar Gebang sekarang masih bertahan meski pengelolaannya mengecewakan. Mengatasi gejolak Bojong Berdasarkan catatan Kompas, kalangan anggota DPRD DKI sebenarnya banyak yang mengusulkan agar ada teknologi pengolahan sampah pembanding TPST Bojong. Di antaranya, sesuai dengan perencanaan Pemerintah Provinsi DKI, yaitu di Duri Kosambi, Jakarta Barat, dan pengembangan Stasiun Peralihan Antara Sunter, Jakarta Utara. Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar pernah mengimbau agar ada teknologi pembanding TPST Bojong di tempat lainnya. Selanjutnya, masyarakat, khususnya warga Bojong, akan mengambil keputusan apakah mereka tetap menolak TPST Bojong. Rama menuturkan, ada proyeksi ke depan di Jakarta untuk menggunakan sampah sebagai sumber energi pembangkit listrik, meskipun hal itu seolah mimpi di siang bolong. Pakar bioenergi dari Yayasan Pengembangan Keterampilan dan Mutu Kehidupan Nusantara Jusri Jusuf pernah menyatakan, sampah di Jakarta jika mencapai rata-rata 20.000 ton per hari dapat digunakan untuk memproduksi energi listrik berdaya 100 megawatt. Pendapatan ekonominya senilai rata-rata Rp 320 miliar per tahun. Data Dinas Kebersihan tahun 2005 menunjukkan, sampah di Jakarta tetap masih mencapai 6.000 ton per hari. Dibandingkan dengan tahun lalu, terjadi perubahan komposisi kualifikasi sampah organik dan anorganik. Pada tahun 2004 komposisi sampah organik mencapai 64,04 persen, sedangkan pada tahun 2005 mencapai 55,37 persen. Itu berarti komposisi sampah anorganik tahun 2004 sebesar 34,96 persen berkembang pada tahun 2005 menjadi 44,63 persen. Komposisi sampah anorganik di Jakarta telah tumbuh sekitar 10 persen. Itu menandakan sampah modern berupa plastik, kertas, dan sebagainya meningkat pesat di Jakarta. Ini sekaligus menandakan potensi pengolahan sampah di Jakarta sebenarnya makin bernilai ekonomis. Memang di atas kertas sangatlah mudah mengurai persoalan dan menemukan jalan keluar penanganan sampah Jakarta. Namun, jalan menuju industri sampah di Jakarta masih sangat panjang sebab sampah Jakarta kotor dan berbau. Hampir setiap orang tidak pernah menginginkannya. Kepala Dinas Kebersihan DKI Rama Boedi, dalam menapaki jalan panjang menuju industri sampah di Jakarta, mengatakan, ada beberapa prasyarat yang harus dipersiapkan. Ia menyebutkan, lokasi industri sampah tidak terpusat. Kalau bisa, mendekati sumber-sumber penghasil sampah untuk menghemat jasa transportasi. Pendekatan teknologi ramah lingkungan juga menjadi hal paling utama yang ditempuh. Adanya multiteknologi pengolahan sampah makin memaksimalkan upaya reduce, reuse, dan recycle sampah. Peran masyarakat dan investor swasta juga amatlah penting. Masyarakat di antaranya perlu didorong mempertinggi nilai ekonomis sampah dengan cara memilah sampah. Para investor swasta perlu didorong menopang permodalan bagi penciptaan multiteknologi pengolah sampah. Pemerintah pun akhirnya lebih berperan sebagai regulator untuk menjaga keselarasan dan koordinasi semua pihak. Dalam kerangka otonomi daerah sekarang, tak kalah pentingnya ialah memperjelas kerja sama regional yang saling menguntungkan masyarakat dan pemerintah masing-masing. Hal ini belum terjadi dengan ditunjukkannya berbagai masalah yang timbul di Bekasi (Bantar Gebang), Tangerang (Ciangir), dan Bogor (Bojong). Itu semua menunjukkan, betul-betul jalan menuju industri sampah di Jakarta masih amat panjang. Oleh: NAWA TUNGGAL Post Date : 08 Agustus 2005 |