|
Jakarta, Kompas - Nasib puluhan petambak yang menderita kerugian akibat pencemaran air lindi (air hasil pembusukan sampah) dari Tempat Pembuangan Sementara Cilincing masih belum jelas. Mereka meminta ganti rugi kepada Pemerintah Provinsi DKI, tetapi hingga Selasa (3/2) belum ada jawaban. Warga Kampung Rawa Malang meminta Pemprov DKI memberi kompensasi "uang bau". Dalam pertemuan antara Dinas Kebersihan DKI dan para petambak di Kantor Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Selasa, para petambak menyampaikan keresahannya. Meski sudah ratusan ribu udang dan ikan bandeng mati akibat air lindi, belum ada upaya nyata dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI, terutama Dinas Kebersihan, untuk mengatasi dampak pencemaran. Jangankan merehabilitasi lingkungan, ganti rugi kepada para petambak pun sampai sekarang belum ada. Petambak yang sudah mengeluarkan modal puluhan juta rupiah hanya bisa gigit jari. Salah seorang wakil petambak, Ahmad Saruji, mengatakan, sebagian besar petambak mengosongkan tambaknya. Mereka mencari sisa-sisa udang dan bandeng yang masih ada. Para petambak mengaku tidak tahu harus beralih usaha apa. "Gubernur sudah berjanji memberi ganti rugi benih. Tetapi, sampai sekarang belum ada," kata Ahmad. Ahmad meminta agar nasib petambak diperhatikan. Mereka sudah mengeluarkan modal banyak untuk membangun usaha sendiri, sekarang malah dihancurkan pemerintah. Petambak lain, Marjono, mengatakan, pencemaran air lindi ke dalam tambak memang benar-benar terjadi. Ia tidak rela jika matinya udang dan ikan bandeng dianggap rekayasa. Menurut Marjono, tercatat 90 petambak udang dan bandeng membuka usaha di dekat Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Cilincing. Luas tambak mencapai 119 hektar. "Kami masih menunggu tanggung jawab pemerintah memberi ganti rugi kepada petambak," ujarnya. Meski hanya 26 hari beroperasi, tempat pembuangan sampah di Kampung Nagrak, Cilincing, Jakarta Utara, sudah menimbulkan dampak yang luar biasa. Ratusan ribu udang dan bandeng mati sia-sia akibat pencemaran air lindi. Padahal sebentar lagi, banyak petambak yang akan menuai panen udang dan ikan bandeng. Potensial kerugian yang diderita petambak rata-rata Rp 24 juta rupiah karena mereka gagal panen. Sementara kerugian modal untuk membeli benih rata-rata di atas Rp 10 juta. Belum lagi biaya untuk merehabilitasi lahan yang tercemar. Lahan yang sudah tercemar air lindi tidak bisa digunakan lagi untuk membuka tambak tanpa dilakukan rehabilitasi. Uang bau Dalam pertemuan itu, warga di Kampung Rawa Malang yang lokasinya bersebelahan dengan TPS Cilincing meminta agar Pemprov DKI memberi ganti rugi seperti yang dijanjikan. Menurut Dadang, warga Kampung Malang, ketika lahan kosong di seberang Cengkareng Drain akan digunakan untuk TPS, warga yang rumahnya tak jauh dari lokasi TPS mendapat janji dari petugas di lapangan. "Katanya, kami akan mendapat uang bau," kata Dadang. Besarnya "uang bau" bervariasi. Ada yang menyebut Rp 50.000 untuk setiap rumah. Hal senada diungkapkan Heru, warga Kampung Rawa Malang. Menurut Heru, Dinas Kebersihan DKI tidak bisa lari begitu saja dari tanggung jawab. Meski TPS Cilincing akhirnya ditutup, Pemprov DKI harus merehabilitasi lingkungan yang sudah rusak. "Ibaratnya kalian (Dinas Kebersihan--red) yang buang kotoran, kami yang setiap hari harus mencium baunya," kata Heru. Kampung Rawa Malang letaknya tidak jauh dari TPS Cilincing, hanya sekitar 200 meter. Kampung tersebut merupakan daerah pemukiman padat penduduk. "Selama TPS Cilincing belum dibersihkan, warga akan terus-terusan mencium bau busuk," kata Heru. Diuber Keputusan untuk menggunakan lahan di Kampung Nagrak sebagai tempat pembuangan sampah kini berbuntut panjang. Selain "diuber-uber" petambak agar mau bertanggung jawab, Dinas Kebersihan DKI juga diuber-uber warga agar membersihkan TPS. Bahkan, ada warga yang menuntut Dinas Kebersihan DKI memberikan upah keamanan yang belum dibayarkan. Menurut Surya, warga Kampung Sawah, pada saat TPS Cilincing akan dioperasikan, dia diminta petugas Dinas Kebersihan untuk mengawal truk-truk yang mengangkut sampah, mulai dari jalan masuk ke TPS Cilincing hingga ke lokasi pembuangan. Menurut Surya dan beberapa teman lainnya, upah mereka selama satu bulan hanya dibayarkan separuhnya. "Saya disuruh kawal truk, tetapi tidak dibayar," kata Surya. Menjawab tuntutan petambak dan warga yang diajukan bertubi-tubi, Kepala Unit Pelaksana Teknis TPA Amir Sagala belum bisa memberikan kepastian. Soal ganti rugi, menurut Sagala, semuanya sedang dianalisis orang-orang ahli. Menurut Sagala, "orang ahli" ini sedang menganalisis dampak yang ditimbulkan TPS CIlincing. Di depan warga dan petambak, Sagala mengakui memang telah terjadi pencemaran di areal tambak. Padahal sebelumnya, Sagala mengelak telah terjadi pencemaran. Ia bahkan menuduh petambak sengaja menaruh ikan-ikan yang mati ke dalam tambak. (IND) Post Date : 04 Februari 2004 |