|
Dukungan Prof A Mukthie Fadjar dan Maruarar Siahaan SH, dua anggota hakim Mahkamah Konstitusi, untuk menerima judicial review UU No 7/2004 tentang sumber daya air yang amat menyusahkan masyarakat banyak ternyata kandas. Dissenting opinion Prof A Mukthie Fadjar tidak mampu menggerakkan hati dan pikiran Ketua dan anggota MK lainnya untuk menerima gugatan judicial review UU SDA. Demikian juga dengan argumen, air seharusnya tidak ada yang memiliki (res nullus), kalaupun ada menjadi milik bersama umat manusia (res commune), bahkan milik bersama makhluk Tuhan sehingga tidak seorang pun boleh memonopoli, juga lumpuh tidak berdaya. Padahal, posisi negara dalam hubungannya dengan kewajiban yang ditimbulkan berkaitan dengan air sebagai hak asasi manusia amat jelas, yaitu negara harus memberi penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak manusia atas air (the right to water). Menyedihkan, tapi itulah faktanya. Semua argumen fundamental dimentahkan melalui pemberian hak-hak tertentu atas air (water right) pada perorangan atau badan usaha swasta. Selain dapat tergelincir menjadi privatisasi terselubung juga dapat mendistorsi ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Paradigma pengelolaan air Penolakan judicial review ini akan membawa transformasi paradigma pengelolaan air yang lebih menekankan dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi sosial dan lingkungan. Kemampuan negara dalam mengelola hak penguasaan atas air yang tidak adil (unfair) dalam: (1) merumuskan kebijaksanaan (beleid), (2) melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) melakukan pengaturan (regelendaad), (4) melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan (5) melakukan pengawasan (toezichthoudendaad). Faktanya terbukti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang pada Pasal 1 Butir 9 menyatakan, Penyelenggara pengembangan SPAM adalah BUMN/BUMD, koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat. Padahal, dalam Pasal 40 Ayat (2) UU SDA sudah dinyatakan, pengembangan SPAM adalah tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah sehingga Pasal 40 Ayat (3) UU SDA menyatakan, penyelenggara SPAM adalah BUMN dan/atau BUMD. Artinya, pengembangan SPAM seperti pada PP No 16/ 2005 yang merupakan implementasi Pasal 40 UU No 7/2004 merupakan swastanisasi terselubung. Mindset pengelola air yang selalu profit-oriented akan mengusahakan keuntungan maksimum bagi para pemegang saham sehingga public service di luar pengabdiannya karena bukan orientasi prinsipal dan watak dasarnya. Membayar mahal Diprakirakan pihak yang memenangi putusan MK akan kian kokoh menancapkan kuku dan pengaruhnya untuk memperkuat posisi tawar dan keuntungannya. Artinya, dengan ditolaknya judicial review oleh MK, maka babak baru eksploitasi sumber daya air akan kian tidak terkendali. Rakyat miskin yang sudah jatuh dengan busung lapar, gizi buruk, polio, dan flu burung harus tertimpa tangga karena harus membayar harga air yang lebih mahal akibat tidak adanya kontrol pemerintah. Hukum pasar air yang oligopolistik memosisikan masyarakat miskin sebagai obyek eksploitasi sehingga semakin menderita dan merana akibat tarifikasi air. Mengingat air merupakan barang nonsubstitusi, maka dampak pasar oligopolistik tidak hanya pada harga, tetapi diprakirakan lebih jauh dari itu, yaitu harga diri bangsa. Visi konglomerat air yang umumnya amat eksploitatif menjadikan segala peluang bisnis air dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan dari siapa pun, termasuk orang yang mengusulkan UU sumber daya air, bahkan para hakim di Mahkamah Konstitusi yang menolak judicial riview perkara ini. Program revitalisasi pertanian, kehutanan, dan perikanan diprakirakan harus didesain ulang (redesign) dengan adanya penolakan MK atas judicial review karena inti pokok dan roh program revitalisasi terletak pada ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya air. Hal penting yang harus dilakukan pascapenolakkan judicial review UU SDA adalah merapatkan barisan dan menyatukan langkah untuk mengawasi penyusunan peraturan pemerintah pelaksanaannya, sekaligus memantau dampak negatifnya di lapangan. Masyarakat perlu memanfaatkan peluang conditionality constitutional jika terjadi penafsiran berbeda dengan pertimbangan MK sehingga masyarakat dapat menggugat kembali. Pertanyaannya, bagaimana mekanismenya? Terlepas dari itu, di depan mata kita terlihat betapa buruknya pengelolaan sumber daya air nasional selama ini. Terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau adalah biasa, tetapi justru yang paling menyedihkan terjadi banjir di musim kemarau. Ironisnya, kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla begitu besar menerima dampak langsungnya. Pelajaran ini tidak bisa dipandang sebelah mata, karena perlu diingat, air memang barang biasa, tetapi peran dan fungsi air amat luar biasa. Artinya, peran luar biasa ini akan berdampak luar biasa apabila terjadi kesalahan dalam pengelolaannya. GATOT IRIANTO Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Litbang Pertanian/ Peneliti COMMITTEE tentang jasa lingkungan Post Date : 02 Agustus 2005 |