Naning, Toilet dan Keadaban Publik

Sumber:Kompas - 15 Februari 2008
Kategori:Sanitasi
Negara yang tidak mempunyai toilet umum yang bersih menunjukkan bahwa negara tersebut tidak berbudaya. Pesan itu tertera pada situs internet Asosiasi Toilet Indonesia, sebuah gerakan budaya bersih dan sehat yang didirikan desainer interior Naning Adiwoso. Dia dan Asosiasi Toilet Indonesia-nya menggalang kepedulian khalayak untuk menciptakan Indonesia bersih dan sehat.

Toilet terkesan bukan sesuatu yang teramat diperhatikan oleh sebagian orang di Indonesia. Ia hanya disebut kamar kecil atau kamar belakang. Ia pada umumnya ditempatkan di bagian rumah paling belakang. Lihatlah toilet umum: budaya penggunanya sangat parah. Itu catatan Naning tentang toilet.

Pada 1999 Naning kaget ketika diajak kawan untuk menghadiri World Toilet Summit, pertemuan internasional yang khusus membahas masalah toilet, di Kyoushu, Fukuoka, Jepang.

Wah, toilet saja kok pakai dibicarakan dalam sebuah pertemuan khusus, berskala internasional lagi. Tetapi justru keheranan itulah yang membuat saya jadi ingin ikut. Saya pengin tahu apa sih yang dibicarakan? cerita Naning tentang konferensi toilet internasional itu.

Konferensi itu membuka pandangan Naning mengenai toilet dan kaitannya dengan budaya bersih suatu bangsa. Apa yang disebut kamar kecil itu ternyata telah mendapat perhatian besar dunia. Sampai-sampai konferensi tersebut melahirkan World Toilet Organization.

Tanpa kita sadari, setiap orang pergi ke toilet setidaknya lima-enam kali dalam sehari. Setiap hari pula kita mengeluarkan kotoran yang beratnya 150-170 gram, ujarnya.

Kegiatan manusia setiap hari di sekitar toilet itu berkait erat dengan kesehatan masyarakat. Toilet yang tak memadai akan berpotensi menjadi sumber penularan berbagai penyakit. Ia juga berkait dengan ketersediaan air bersih dunia.

Bagaimana kita tak mau berpikir soal air bersih kalau setiap kali ke toilet orang menghabiskan 1 sampai 5 liter air. Padahal, jumlah penduduk Indonesia sekitar 220 juta orang. Berapa banyak air bersih yang dibutuhkan? Sampai kapan semua itu bisa tersedia? tambah perempuan yang tahun 1980 mendirikan kantor konsultan desain interior CV ADI & Associate ini.

Asosiasi Toilet Indonesia

Menyusul terbentuknya World Toilet Organization, Naning mengajak berbagai pihak untuk mendirikan Asosiasi Toilet Indonesia (ATI) tahun 2001. Sebelum itu ia berkeliling ke berbagai departemen dan mendapat respons dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang saat itu menterinya dijabat I Gde Ardika.

Lewat ATI ia berharap akan semakin mudah mengubah paradigma masyarakat tentang toilet, sebab semakin banyak pula kalangan yang bisa dijangkau untuk sadar kebersihan dan pentingnya toilet. ATI dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama menerbitkan buku, brosur, serta poster tentang toilet yang bersih dan bagaimana menggunakannya secara benar.

Ketika negara lain seperti China dan Singapura sudah menerapkan green design untuk toilet, kita masih berkutat mengubah kesadaran masyarakat pada kebersihan. Jadi, kalau tidak segera dimulai, kita makin ketinggalan jauh, ujarnya.

Naning lalu melakukan safari toilet. Dia datangi toilet umum di berbagai tempat, seperti pasar, terminal bus, stasiun kereta, sampai bandara. Ada pasar yang mengutip bayaran Rp 500-Rp 1.000 untuk toilet yang kotor. Tapi, di pasar Beringharjo (Yogyakarta) saya lihat toiletnya cukup bersih, katanya.

Toilet di mal-mal dalam pengamatannya relatif bersih karena ada petugas kebersihan. Sayangnya, ada saja pengunjung yang tak tahu menggunakannya secara benar, kata Naning yang mengoleksi ratusan foto toilet di Indonesia.

Dari foto-foto toilet itu, Naning mendapati betapa toilet umum dirancang tanpa wawasan jender. Meski jumlah penduduk perempuan lebih banyak daripada pria, faktanya toilet untuk perempuan sama jumlahnya dengan toilet pria.

Jumlah perempuan lebih banyak. Mereka juga memerlukan waktu tiga kali lebih lama di toilet dibandingkan pria. Jadi, jangan heran kalau di toilet wanita, antrean lebih panjang dibandingkan di toilet pria. Seharusnya pengelola membangun toilet wanita minimal dua kali lipat dari jumlah toilet pria, tuturnya.

Kampanye budaya

Berdasar hasil temuannya terhadap kondisi toilet umum tersebut, pada berbagai kesempatan Naning berusaha memberi penyadaran tentang fungsi toilet. Ia misalnya mengajak para arsitek menerapkan desain toilet yang memungkinkan cahaya matahari masuk ruang. Dengan demikian, selain berhemat energi, toilet juga selalu kering.

Gunakan kloset yang hemat air, seperti tombol buang air kecil dan air besar yang berbeda. Untuk kloset di tempat umum, usahakan sebisa mungkin menggunakan peralatan yang bebas sentuhan tangan untuk mencegah kemungkinan penularan kuman penyakit, ungkapnya.

Tak semua orang bisa menerima gagasan Naning. Misalnya tentang pintu toilet umum yang sebaiknya berjarak tinggi 20 sentimeter dari lantai agar mudah membersihkannya. Namun sebagian orang menganggap hal itu mengurangi privasi.

Kebiasaan tak menutup kloset juga harus diubah. Saat tidak digunakan sebaiknya kloset ditutup. Bila dibiarkan terbuka, kemungkinan penyebaran bakteri dari kotoran manusia itu makin tinggi. Bakteri dari kloset bisa menyebar sampai sejauh 6 meter.

Saya serius mengatakan hal itu, tetapi orang malah mencibir, mencari-cari kesalahan. Katanya, toilet yang cuma dipakai sesaat saja kok dibikin ruwet, ceritanya.

Akan tetapi, bagi Naning ini bukan urusan sesaat. Di balik toilet itu ada persoalan yang lebih mendasar, yaitu adab dan budaya suatu bangsa. Untuk itu dia memulai kampanye dari sekolah dan perguruan tinggi. Kalau yang tua-tua susah berubah, ya setidaknya yang muda mulai terbiasa dengan persepsi baru tentang toilet, katanya optimistis.

Tahun ini kami akan melakukan kampanye kebersihan toilet ke taman kanak-kanak. Kami sedang mencari orang yang bisa menjelaskan kepada anak-anak dengan cara yang menarik.

Bekerja sama dengan berbagai pihak, ia juga tengah berusaha mengubah kotoran manusia menjadi sumber energi. Di China, green toilet sudah dilakukan dan disebut sebagai bagian dari green design.

Orang China menyadari populasi mereka besar, kalau tidak hati-hati lingkungan bisa rusak. Makanya, memakai Olimpiade ini mereka mau mengubah budaya masyarakat agar paham pentingnya toilet yang kering, bersih, dan dipakai secara benar, ceritanya.

Sopir taksi di Beijing sampai bilang, Kalau Anda tak punya toilet yang bersih, Anda tak punya masa depan. Frans Sartono



Post Date : 15 Februari 2008