BANDUNG, KOMPAS - Kualitas air Sungai Citarum selama lima tahun terakhir terus memburuk. Perilaku masyarakat dalam menangani limbah menjadi penyebab utama kondisi tersebut.
Hal itu diungkapkan Kepala Biro Perencanaan Perusahaan Umum Jasa Tirta II Herman Idrus di Bandung, Selasa (5/5). Kesimpulan soal kualitas air berdasarkan pemantauan rutin bulanan pada 25 titik di sepanjang Sungai Citarum.
"Ada 16 parameter kualitas air dari segi fisik, kimia, atau biologi yang rutin diperiksa. Hanya parameter temperatur air yang cenderung konstan. Sisanya terus memburuk," papar Herman.
Salah satu parameter memburuk yang dimaksud adalah kadar biological oxygen demand (BOD) yang menunjukkan angka 128 par per million (ppm) saat diambil di daerah Kutawaringin, Kabupaten Bandung. Padahal, angka BOD yang ditoleransi hanya sampai 20 ppm.
Kadar BOD menunjukkan kebutuhan oksigen oleh bakteri dan mikroba untuk mengurai bahan organik. Maka, semakin tinggi kadar BOD, semakin tercemar pula air di lokasi bersangkutan.
Herman menuturkan, PJT II hanya bertugas sebagai operator untuk menyediakan air baku dengan kondisi yang layak pakai. Hasil pemeriksaan rutin juga dikirimkan kepada masing-masing pemerintah daerah untuk dijadikan bahan pertimbangan kebijakan lingkungan.
Pemantauan kualitas air dilakukan di 129 titik di seluruh wilayah kerja PJT II. Hasil pemantauan selain dikirimkan ke instansi terkait di pemerintahan daerah, juga dipaparkan kepada seluruh pihak terkait.
Upaya lain yang ditempuh untuk mempertahankan kualitas air, ujar Herman, adalah dengan kampanye perubahan perilaku masyarakat yang bermukim di sepanjang sungai. Selain menumbuhkan kesadaran, masyarakat juga perlu diberdayakan agar bisa mengelola sampah sendiri tanpa harus membuang sampah ke badan sungai.
Tahun ini, ujar Herman, PJT II mengeluarkan dana Rp 230 miliar untuk perawatan dan perbaikan kualitas air. Kalau saja masyarakat sadar dan turut menjaga sungai, biaya operasional sebesar itu bisa dialihkan untuk alokasi lain yang lebih bermanfaat. Parlemen Jepang
Terkait dengan pemberdayaan masyarakat di sepanjang aliran sungai, Selasa kemarin, delapan anggota Parlemen Jepang mengunjungi Sekretariat Warga Peduli Lingkungan di Desa Pangauban, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung.
Sebelumnya, rombongan meninjau program pengadaan air bersih dan sanitasi komunal yang dikelola masyarakat di Desa Rancamanyar, Kecamatan Baleendah. Kedatangan mereka dalam rangka reses seusai mengikuti pertemuan parlemen se-Asia ke-25 mengenai kependudukan dan pembangunan, di Jakarta.
Anggota Majelis Tinggi Parlemen Jepang, Chieko Nohno, menuturkan, kunjungan tersebut bertujuan melihat pemberdayaan masyarakat di bidang lingkungan. Menurut dia, Jepang memulai pembangunan dari kondisi yang lebih parah dan malah lebih miskin daripada Indonesia pascakemerdekaan.
"Namun, kunci keberhasilan pembangunan di Jepang adalah tingginya kesadaran terhadap kesehatan dan semua orang melakukan perannya masing-masing," kata Nohno.
Dengan masyarakat yang diberdayakan, segala sumber daya yang dimiliki dapat dikelola dengan efektif dan optimal. Penularan penyakit, seperti flu burung dan malaria, pun bisa ditekan dengan modal dasar seperti ini.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Kependudukan dan Pembangunan Asia Osamu Kusumoto menjelaskan, peningkatan kesadaran publik di tingkat paling bawah adalah prioritas pertama dalam pembangunan. Bila pemerintah membuat proyek fisik tetapi masyarakat kurang diberdayakan, yang muncul adalah penolakan atau malah manfaatnya kurang optimal dirasakan. (eld)
Post Date : 06 Mei 2009
|