Musyawarah yang Memelihara Banjir

Sumber:Media Indonesia - 14 Januari 2008
Kategori:Banjir di Jakarta
JAKARTA bisa tenggelam. Kekhawatiran itu sempat mencuat ketika banjir mengurung sejumlah wilayah Ibu Kota, Desember 2007. Sebenarnya, Belanda sudah memprediksi ancaman tersebut pada 70 tahun lalu.

Ketika itu air baru menggenang sebentar di permukaan laut. Belanda sudah melihat itu sebagai bahaya. Pemerintah langsung membuatkan solusi dengan merancang Banjir Kanal Timur (BKT) dan Banjir Kanal Barat (BKB).

BKB dibangun mulai dari Manggarai melintasi Setiabudi, Tanah Abang, Tomang, Jembatan II-III, dan Penjaringan, Jakarta Utara, menuju laut, sebelum Indonesia merdeka pada 1945.

Setelah itu disiapkan BKT dengan hitungan mengatasi banjir seluas 40% dari 650 km2 luas Jakarta. BKT yang dibangun sepanjang 23 km disiapkan untuk memotong aliran enam sungai di Jakarta Timur yakni Kali Baru, Kali Cipinang, Kali Jati Kramat, Kali Sunter, dan Cakung Drain.

Selain itu, BKT berfungsi menerima aliran air dari 13 sungai sekitar Bogor, Jawa Barat, yang membelah Kota Jakarta. Air kiriman itu akan disalurkan ke Jakarta Utara menuju laut.

Sayang seribu kali sayang, sudah 63 tahun Indonesia merdeka, pembangunan BKT tidak kunjung selesai? Andaikata Indonesia masih dijajah, proyek itu sangat mungkin sudah tuntas pada 1950-an.

Tragis memang, dari era Ali Sadikin memimpin Jakarta hingga Fauzi Bowo sekarang ini, kendala selalu pada pembebasan tanah. Nama-nama besar di militer seperti Tjokropranolo, Soeprapto, Surjadi Soedirdja hingga Sutiyoso pun tak berkutik.

Sebelum pilkada DKI pada 8 Agustus 2007, Gubernur DKI Sutiyoso maupun Wali Kota Jakarta Timur Koesnan Abdul Halim memberikan jaminan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam rapat kecil di ruangan Wapres, keduanya menjamin pembebasan lahan BKT tuntas Desember 2007 asalkan pemerintah membantu kekurangan dana senilai Rp500 miliar.

Tidak mampu

Syarat itu dikabulkan pemerintah dengan mengucurkan dana sebesar Rp100 miliar, sisanya Rp400 miliar dicicil pada tahun anggaran berikutnya. Ditambah alokasi APBD DKI 2007 sebesar Rp700 miliar, dana pembebasan tanah yang tersedia mencapai Rp800 miliar. Kenyataan di lapangan, Koesnan Halim tidak mampu membelanjakan dana yang tersedia sehingga tersisa Rp400 miliar.

Dana menganggur itu terpaksa dialihkan ke APBD DKI 2008. Gagallah pembangunan fisik BKT yang dijadwalkan awal 2008. Panitia Pembebasan Tanah (P2T) Jakarta Timur tidak rugi meski pembebasan lahan BKT berlarut-larut.

Secara materi, mereka justru diuntungkan karena ketua maupun anggota P2T, BPN, lurah, camat, Dinas Pembinaan Mental dan Kesejahteraan Sosial DKI, Asisten Sekko Madya bidang Tatapraja Jakarta Timur selaku Wakil Ketua P2T mendapat honor dari dana operasional.

"Kalau proses pembebasan cepat selesai tentu dana operasional juga berhenti," gurau seorang pejabat di lingkungan Kantor Wali Kota Jaktim.

Menurut peraturan tidak ada masalah. Peraturan Presiden No 36/2005 mengenai Tanah Sengketa yang Terkena Proyek Pemerintah diselesaikan ke pengadilan lewat konsinyasi. Dengan cara itu, sengketa kepemilikan tidak menghambat kelanjutan pembangunan.

Presiden maupun BPN sudah mengeluarkan dua peraturan sebagai dasar hukum konsinyasi ganti rugi ke pengadilan agar proyek berjalan sesuai rencana. Tapi sampai sekarang P2T Jakarta Timur belum mau menggunakan peraturan itu terhadap mereka yang bersengketa.

"Itu jalan terakhir," kilah Wakil Ketua P2T Jakarta Timur Husein Murad. Menurutnya, bila dikonsinyasi, P2T wajib membayar dua mata anggaran ke pengadilan yakni 0,025% dari total dana konsinyasi plus Rp500 ribu setiap bidang tanah sengketa.

Musywarah

P2T Jakarta Timur tidak menyukai cara tersebut. Mereka memilih musyawarah mufakat dengan konsekuensi waktu lebih lama. Saat itu sudah beberapa kali lagi terjadi banjir dengan kerugian materi jauh lebih besar daripada seluruh total ganti rugi pembebasan lahan.

Kenapa P2T mengedepankan musyawarah mufakat? Banyak kemungkinan yang positif. Tanah selesai secara baik-baik meski butuh proses dan waktu lama. Pemilik tanah biasanya punya pengertian dengan menyisihkan tanda terima kasih. "Tidak begitu," tampik Husein.

Lalu kenapa lamban? Ketua DPRD DKI Ade Surapriatna pun menuding Gubernur Fauzi Bowo bersama stafnya, tim P2T, dan Wali Kota Jakarta Timur tidak punya nyali. "Padahal sudah ada keppres dan peraturan Kepala BPN RI agar ganti rugi tanah sengketa dikonsinyasi ke pengadilan, tapi mereka tidak melakukan. Ada apa di balik itu semua? Kenapa bertahun-tahun terus menunggu penyelesaian lewat musyawarah?"

Wali Kota Jakarta Timur Koesnan Abdul Halim menjelaskan konsinyasi artinya pemilik tanah mengambil uangnya secara utuh sesuai taksasi harga nilai jual objek pajak (NJOP) di pengadilan.

Saat ini terdapat 48 kasus sengketa lahan BKT dengan luas sekitar 96 ribu meter. Batas pembayaran 15 Desember 2007. "Jika lewat batas itu maka akan dikonsinyasi ke pengadilan," ujarnya.

Namun sampai sekarang belum ada satu pun yang dikonsinyasi sehingga pembangunan fisik BKT pada awal 2008 mundur lagi sampai pada waktu yang belum ditentukan. Di wilayah Jaktim sudah 175 hektare lahan dibebaskan. Sementara di Jakarta Utara tinggal 13 hektare lagi tanah bermasalah.

Saat menjabat Gubernur DKI, Sutiyoso menginginkan proyek BKT segera diselesaikan. Dalam berbagai kesempatan, mantan Pangdam Jaya itu selalu menegaskan BKT akan menyelamatkan Jakarta dari banjir bandang seperti 2003.

Tapi Halim mengingatkan masyarakat supaya tidak terlalu optimistis. Menurutnya, BKT hanya akan menyelamatkan 25% wilayah timur Jakarta yang sering terendam. Jangankan 25%, seluas 5% saja permukiman yang setiap tahun menjadi kolam renang tetap menjadi daratan, itu benar-benar luar biasa. (Selamat Saragih/J-1)



Post Date : 14 Januari 2008