Musibah Sungai Pengangkut Sampah

Sumber:Majalah Gatra - 15 - 21Februari 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
Buruknya kualitas sungai, menyempitnya ruang terbuka hijau, raibnya sejumlah situ, dan tak tertatanya daerah penyangga menyebabkan banjir Jakarta makin ganas dari masa ke masa; Ngebut di Kanal Timur

Genangan air yang melanda Jakarta sudah menyurut. Tapi genderang perang melawan banjir justru kini nyaring berbunyi. Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla, selaku Ketua Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, turun langsung memimpin operasi. Sejumlah terobosan memotong prosedur pun dilakukan. ''Pilih banjir atau prosedur,'' kata Jusuf Kalla (JK), usai memimpin rapat koordinasi (rakor) penanggulangan banjir di kantor BKKBN, Jakarta Timur, Sabtu pekan lalu.

Rakor dihadiri Menteri Koordinator (Menko) Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Menko Perekonomian Boediono, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, Menteri Negara/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, dan Menteri Perhubungan Hatta Radjasa. Ikut hadir pula tiga gubernur yang wilayahnya terkait banjir Jakarta, yakni Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, dan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.

Dalam rakor diputuskan, penanggulangan banjir Jakarta tak hanya dilakukan secara parsial, bagian per bagian. Mesti menyeluruh. Tak bisa lagi diatasi hanya dengan penataan 13 aliran sungai yang menggerojok Jakarta atau membangun kanal. Namun program mesti didukung dengan penataan ruang dan wilayah, baik di Jakarta maupun daerah penyangganya di selatan, seperti Bogor dan Depok, serta sejumlah langkah lainnya. Segenap upaya ini bersifat segera, tak bisa ditunda-tunda lagi.

Untuk itu, wapres meminta agar proyek-proyek penanggulangan banjir yang sudah berjalan bisa rampung lebih cepat. Proyek Banjir Kanal Timur, misalnya, kata JK: ''Harus rampung dalam waktu dua tahun.'' Seperti diketahui, proyek kanal yang menghubungkan lima sungai di Jakarta Timur, yakni Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, Kramat, dan Sungai Cakung, itu semula dijadwalkan selesai pada 2010.

Sokongan dana pun siap digelontorkan. Tak tanggung-tanggung, pemerintah pusat menyediakan Rp 2,7 trilyun sebagai dana tambahan. Dana ini akan turun dua dalam tahap. Tahun pertama untuk ongkos pembebasan lahan, sedangkan tahun kedua untuk biaya pembangunan fisik kanal. Sebelumnya, proyek ini ditetapkan memakan anggaran Rp 4,9 trilyun.

Buruknya kualitas sungai tak lepas dari sorotan. Terutama masalah pendangkalan dan penyempitan di beberapa tempat. Pemicunya, antara lain, banyak lahan bantaran sungai yang disulap menjadi permukiman kumuh. Sepanjang bantaran Sungai Ciliwung, misalnya, tercatat sekitar 70.000 kepala keluarga (KK) yang bermukim. Selain terus meringsek badan sungai, penghuni kawasan kumuh itu kerap menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan limbah, termasuk sampah.

Membludaknya tumpukan sampah pascabanjir lalu, misalnya, menjadi bukti bahwa sungai selama ini menjadi lahan pembuangan sampah paling gampang. Ritola Tasmaya, Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang juga Pelaksana Harian Satkorlak Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Jakarta, menghitung setidaknya ada 1.000 ton sampah tambahan yang harus dibuang tiap hari. Sampah ini diduga terbawa oleh luapan air. Pada hari-hari biasa sebelum banjir, volume sampah Jakarta mencapai 6.000 ton.

Jalan keluarnya, mau tak mau hunian liar itu harus direlokasi. Pemerintah sebetulnya berniat memindahkan pemukim di bantaran sungai itu ke rumah susun. Direncanakan akan dibangun 320 twin block empat lantai, yang tersebar di beberapa wilayah Jakarta. Setiap twin block mampu menampung penduduk lebih kurang 100 KK, sehingga seluruhnya akan menampung sekitar 32.000 KK. Proyek ini diperkirakan menelan biaya Rp 1,7 trilyun.

Kelak, rumah-rumah susun ini akan disewakan. Tentu dengan harga terjangkau, karena ada subsidi dari pemerintah. Bukan langsung dijual. ''Sebab, pengalaman yang sudah-sudah, banyak rumah susun yang dalam waktu cepat berpindah tangan,'' kata Sutiyoso. Walhasil, unit-unit rumah itu jatuh kepada yang tidak berhak. Penghuni bantaran kali pun gigit jari.

Sebagai tahap awal, JK minta segera dibangun rumah susun bagi sebagian pemukim bantaran Kali Ciliwung. Diperkirakan menelan dana Rp 500 milyar dan selesai dalam waktu satu hingga dua tahun. ''Bangun dulu, baru penghuni dipindahkan,'' katanya. Sebab pemindahan paksa gubuk di pinggiran kali bakal menimbulkan masalah, baik secara ekonomi maupun sosial, bila belum ada tempat hunian penggantinya.

Yang lebih penting lagi, bagaimana agar bantaran sungai yang nanti sudah bersih tidak kembali dihuni pendatang baru. Masalahnya, hingga kini belum ada perangkat hukum yang melindungi lahan di sepanjang pinggiran sungai. Diharapkan kekosongan ini segera diisi oleh RUU Tata Ruang, pengganti Undang-Undang Nomor 24/1997, yang sedang digodok. Di dalamnya tertuang sanksi berat bagi penghuni liar bantaran sungai. Undang-undang ini berisi larangan pembangunan di areal 50 meter sisi kiri dan kanan sungai.

Masalah lain yang harus dibenahi Jakarta adalah makin menciutnya ruang terbuka hijau (RTH), yang berfungsi sebagai areal resapan air. Kawasan ini dari hari ke hari makin terdesak oleh kelahiran bangunan-bangunan yang sulit direm. Merosotnya luas RTH ini bisa dilihat dari komposisi lahan Jakarta dari masa ke masa.

Awalnya, seperti disebutkan Selamet Daroyni, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Jakarta, berdasarkan masterplan tahun 1965-1985, RTH Jakarta ditetapkan sekitar 27,6% dari total 661 kilometer persegi luas wilayah. Periode berikutnya, dalam Rencana Umum Tata Ruang 1985-2005, RTH ditetapkan 26,01%.

Namun, belum juga periode kedua itu lewat, kata Selamet, pada 1999 aturan itu sudah direvisi lewat Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Di situ disebutkan, RTH hanya sekitar 13%.

Berikutnya, pada 2001, Dinas Pertamanan dan Keindahan Lingkungan menyatakan, RTH yang tersisa tinggal 9%. ''Herannya, pada 2004, data itu masih dipakai. Bisa tidak ada peningkatan atau mungkin penurunan dari data itu,'' ujar Selamet.

Angka ini, menurut Selamet, tentu jauh dari ideal. Sebab, sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan, luas RTH harusnya 40% hingga 60%. Jauhnya luas RTH Jakarta dari angka ideal inilah yang dinilai Selamet sangat berhubungan dengan makin hebatnya banjir Jakarta dalam kurun waktu 15 tahun terakhir.

Sutiyoso sadar betul ihwal makin menyempitnya luas RTH ini. Hanya saja, ia mengakui, tidak gampang menekan laju pembangunan rumah-rumah dan gedung-gedung di Jakarta. Masalahnya, sebagian besar lahan terbuka itu dikuasai perorangan atau swasta. Yang bisa dilakukan pemerintah adalah mengeremnya lewat aturan ketat pendirian bangunan.

Selain itu, Sutiyoso juga sedang mengupayakan pembelian lahan-lahan terbuka. Ada sejumlah titik yang menjadi incaran. ''Masalahnya, pembelian lahan itu butuh anggaran besar,'' katanya. Yang sudah terlaksana adalah lahan terbuka di depan Mal Taman Anggrek dan mengalihkan fungsi Stadion Menteng menjadi taman. Berikutnya, ia tak akan memperpanjang izin bagi sejumlah stasiun pengisian bahan bakar yang berdiri di atas jalur hijau.

Penataan ruang di hulu Jakarta tak kalah vital. Untuk menjaga keseimbangan lahan di daerah penyangga, khususnya di selatan Jakarta, rakor menugasi Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, untuk melakukan penghijauan di kawasan Puncak dan perbaikan tata ruang. Selain itu, pemerintah pusat juga mengucurkan bantuan Rp 250 milyar untuk revitalisasi sekitar 150 situ yang ada di sekitar Bogor dan Depok. Sebagian besar situ itu dalam keadaan rusak, bahkan banyak di antaranya sudah berubah menjadi kompleks perumahan.

Sederet langkah strategis sudah ditetapkan. Sejumlah duit dari kas negara juga telah mengucur. Kini tinggal pelaksanaannya. Kalau hanya terhenti di tahap rencana, suara genderang perang terhadap banjir lambat laun pelan terdengar, lalu hilang seiring surutnya genangan air Jakarta.

Ngebut di Kanal Timur

Ceruk selebar 100 meter, sedalam tiga meter, itu kini menjadi danau. Di sana, genangan air banjir yang menggulung Jakarta, dua pekan lalu, belum juga surut. Tak ada celah bagi air untuk mengalir. Terkurung oleh dinding tanggul berupa gunungan tanah merah yang rapuh, yang setiap saat bisa longsor. Mengancam permukiman warga yang hanya berjarak sekitar 10 meter dari bibir ceruk.

Itulah kondisi terakhir proyek Banjir Kanal Timur (BKT) yang mentok di Ujung Menteng, Jakarta Timur. Proyek yang dimulai pada Juli 2003 itu berjalan laksana siput. Merayap pelan-pelan. Dari rencana pembangunan kanal sepanjang 23,5 kilometer, hingga kini baru merangkak di 7,7 kilometer. Terhambat oleh masalah pembebasan lahan. Dari ketidakcocokan harga ganti rugi hingga status kepemilikan lahan yang tumpang tindih.

Di Ujung Menteng, misalnya, tercatat sekitar 120 pemilik lahan yang bertahan tak mau melepas tanahnya. ''Kami akan lepas kalau harganya cocok,'' kata Makmur, seorang warga, diamini para tetangganya. Bagi mereka, uang ganti yang ditetapkan pemerintah berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP) sebesar Rp 500.000 per meter persegi tidaklah cukup. ''Kami minta Rp 2 juta,'' tutur Suhada, rekan Makmur, kepada Sholla Taufiq dari Gatra.

Tuntutan serupa terjadi di Pondok Bambu, Duren Sawit, dan beberapa daerah yang terlintasi BKT. Di Pondok Kelapa dan Cakung, lain lagi ceritanya. Di sana, proyek terganjal lahan fasilitas sosial dan fasilitas umum kompleks perumahan yang belum diserahkan pengembang. Luasnya sekitar 10 hektare. Masalah muncul karena keberadaan pengembangnya sudah tak jelas lagi. ''Kami sedang mencarinya,'' kata Koesnan Abdul Halim, Wali Kota Jakarta Timur, yang mendapat tugas membebaskan lahan.

Setelah banjir hebat menggenangi sekitar 60% kota Jakarta, pekan lalu, semua pihak pun kembali menengok nasib pengerjaan BKT yang tersendat-sendat. Bahkan, lewat rapat koordinasi pencegahan banjir yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantor BKKBN, Sabtu pekan lalu, pemerintah pusat siap mengucurkan dana tambahan Rp 2,7 trilyun guna mempercepat penyelesaian proyek itu. Duit ini untuk membantu ongkos pembebasan lahan dan pembangunan fisik kanal.

Sebelumnya, proyek kanal yang melewati 13 kelurahan di Jakarta Timur itu dianggarkan memakan dana Rp 4,9 trilyun. Sebesar Rp 2,4 trilyun untuk pembebasan lahan. Sumber duitnya dibebankan pada APBD DKI Jakarta. Sedangkan Rp 2,5 trilyun untuk membangun konstruksi. Pelaksanaan proyek dan uangnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso optimistis, tahap pembebasan lahan --yang merupakan tanggung jawabnya-- akan rampung pada akhir 2007. Lebih-lebih, dana untuk pembebasan lahan yang diambil dari APBD diketok oleh DPRD pada bulan ini, sehingga Maret bisa cair. Hanya saja, pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyayangkan dewan yang memotong anggaran yang diajukan dari Rp 800 milyar menjadi Rp 650 milyar. Diharapkan, DPRD dan Departemen Dalam Negeri mau mengembalikan anggaran ke angka semula.

Menurut Koesnan, yang menjadi pelaksana pembebasan lahan, dari 198 hektare areal yang terkena proyek BKT, sebanyak 67% sudah dibebaskan. Sisanya segera dibebaskan, menyusul anggaran dari APBD 2007 cair. Menyangkut masih adanya sebagian warga yang keukeuh minta penggantian di atas NJOP, Koesnan siap-siap membawanya ke meja hijau.

Koesnan bersandar pada Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2005. Di situ diatur bahwa harga pembebasan lahan yang terkena proyek fasilitas umum setara dengan NJOP. Yang tetap minta lebih dari NJOP tinggal berurusan di pengadilan. Sambil proses hukum bergulir, kata Koesnan, ''Kami titipkan saja uang penggantinya ke pengadilan.'' Sedangkan proses pembebasannya terus berlangsung, sehingga proyek pun berjalan. Langkah serupa ditempuh untuk lahan yang belum jelas kepemilikannya. ''Biar pengadilan yang menentukan siapa pemilik lahan itu,'' katanya.

Pitoyo Subandrio, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane yang juga pimpinan proyek pembangunan fisik BKT, pun siap ngebut. ''Setahun pun selesai, asal tanahnya bebas dan duitnya ada,'' ujar Pitoyo. Artinya, jika lahan terbebaskan pada akhir 2007, maka sosok kanal sudah rampung tahun 2008. Kita tunggu hasilnya!Hidayat Gunadi dan Alexander Wibisono



Post Date : 15 Februari 2007