Morowali Banjir, Ribuan Mengungsi

Sumber:Kompas - 23 Juli 2007
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Palu, Kompas - Sebanyak 11 desa di Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, dilanda banjir, Minggu (22/7). Bencana yang didahului hujan selama beberapa hari itu mengakibatkan dua jembatan ambruk sehingga empat desa terisolasi, dan ribuan warga mengungsi.

Banjir terparah dengan tinggi air mencapai dua meter melanda Desa Baturube, Tirongan Atas, Kalombang, dan Tokala Atas. Air juga melimpas Desa Uewau, Uemasi, Womparigi, Tambaro Bone, Posangke, Taronggo, dan permukiman transmigrasi SPC.

Desa Baturube, Tirongan Atas, Kalombang, dan Tokala Atas terisolasi karena dua jembatan yang menghubungkan empat desa itu dengan desa lain ambruk diterjang arus deras. Keempat desa itu diapit Sungai Solato dan Sungai Bongka yang meluap. Karena ruang gerak terbatas, warga keempat desa itu hanya bisa mengungsi ke daerah tinggi di sekitar desa, seperti di sekitar bukit tempat menara pemancar telepon.

Adapun banjir di tujuh desa lainnya setinggi satu meter atau lebih. Ribuan warga dari tujuh desa itu masih mengungsi ke daerah yang lebih tinggi atau ke desa lain hingga Minggu sore.

Menurut Hasanuddin (52), warga Tokala Atas, sekitar 800 warga desa itu terjebak. Mereka tak bisa mengungsi karena arus Sungai Solato atau Bongka yang harus diseberangi sangat deras. "Warga panik sekali karena tinggi air sudah dua meter dan terus bertambah," katanya.

Kondisi lebih parah dialami warga Baturube. Selain banjir setinggi dua meter, desa yang terletak di pesisir pantai itu juga diterjang ombak. "Ada beberapa rumah yang roboh kena ombak. Setiap musim hujan, ombak tinggi sekali di sini," kata Syahdan Sondeng (37), warga Baturube.

Syahdan yang juga pegawai honorer Dinas Pertanian Morowali mengatakan, banjir merendam rumah, 4.438 hektar kebun kakao, dan 121 hektar tanaman padi milik warga Bungku Utara. Tanaman kakao yang sedang masa panen itu dipastikan membusuk.

Saat ini, warga ke-11 desa, khususnya empat desa yang terisolasi, sangat membutuhkan pertolongan. Mereka perlu segera dievakuasi dan diberi makanan, pakaian, dan obat-obatan.

Syahdan menambahkan, banjir di Bungku Utara adalah kejadian yang berulang setiap tahun sejak 1995. Curah hujan di Bungku Utara adalah yang paling tinggi di Sulteng, yaitu 1.500-2.000 milimeter per tahun. Karena 80 persen wilayah Bungku Utara adalah dataran rendah, setiap musim hujan dipastikan mengalami banjir.

Kata Syahdan pula, banjir yang selalu menimpa Bungku Utara adalah dampak maraknya penebangan hutan. Penebangan hutan juga sudah merambah Cagar Alam Morowali yang menjadi penyangga air kabupaten itu.

Ketua DPRD Morowali Zaenal Abidin Ishak mengakui maraknya penebangan liar. Namun, penebangan liar itu sudah mulai berkurang dalam setahun terakhir. Dijelaskan, DPRD sudah berkoordinasi dengan TNI dan polisi untuk mengevakuasi warga yang terisolasi serta menyalurkan bantuan.

Di Kalimantan Selatan, banjir yang pada Sabtu lalu menimpa Kecamatan Jorong meluas ke Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Laut. Suratno, petugas satuan pelaksana penanggulangan bencana Tanah Laut, mengatakan, sebagian warga mengungsi, tetapi warga yang punya rumah bertingkat bertahan di lantai dua.

Ancam petani

Adapun hujan lebat yang turun terus-menerus di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, dan sekitarnya menyebabkan petani kakao terancam rugi besar. Cuaca buruk menghambat proses pengeringan biji kakao.

"Biji kakao rusak dan kalau dijual dalam kondisi basah pun harganya turun," ujar H Mustafa, petani di desa Wana Waru, Kecamatan Libureng. Dia menunjuk tumpukan biji kakao miliknya yang sudah sepekan dipanen tetapi tak juga kering. Kerugiannya mencapai Rp 20 juta.

"'Padahal, harga kakao sedang bagus, Rp 15.000 di tingkat petani. Dengan kondisi yang tidak kering, harganya tinggal Rp 5.000-Rp 7.000 per kilogram,'" kata Rusman, petani Desa Bulu Ulaweng, Kecamatan Patimpeng.

Umumnya, petani tak memiliki alat pengering. Pantauan Kompas di Kecamatan Libureng, Patimpeng, Bengo, dan sekitarnya, petani umumnya hanya menjemur kakao di halaman rumah. Jika hujan, kakao hanya ditumpuk di dalam atau di teras rumah.

Beberapa waktu lalu, Ketua Asosiasi Kakao Indonesia Halim Razak mengatakan, dalam 10 tahun terakhir harga kakao terbilang tertinggi, Rp 17.000-Rp 18.000 per kg di tingkat petani, jika kondisi keringnya baik.

BMG Wilayah IV Makassar memperhitungkan, Sulsel mengalami kemarau basah atau La Nina. Hal ini ditandai dengan banyaknya gumpalan awan hujan. (FUL/REI/REN)



Post Date : 23 Juli 2007