Monster Bergiat di Pintu Jakarta

Sumber:Majalah Tempo - 16 Juli 2007
Kategori:Sampah Jakarta
Aktivitas Jakarta Green Monster menyemarakkan Suaka Margasatwa Muara Angke dan Pulau Rambut. Sampah menjadi masalah utama.

Sambil menulis-nulis di buku catatan, gadis remaja itu mewawancarai seorang pembudidaya kerang hijau di pemukiman nelayan Muara Angke, Jakarta Utara. Matanya terbelalak ketika dia melihat cairan kimia berwarna kuning yang digunakan untuk mengawetkan kerang. Kok tidak pakai pengawet alami seperti kunyit, tanya Damayanti, nama remaja itu kepada si pembudidaya kerang.

Damayanti lantas meminta sedikit cairan tersebut dan kembali menelusuri Kali Angke dengan perahu motor. Bersama tiga rekan sekolahnya dari SMA Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) di Manggarai, Jakarta Selatan, dia menyerahkan temuan itu kepada tim juri yang menunggu di Suaka Margasatwa Muara Angke. Puluhan pelajar lain dari sekolah menengah di Jakarta juga membawa temuan masing-masing. Mereka adalah peserta lomba Detektif Lingkungan yang diselenggarakan Jakarta Green Monster pada Ahad pagi tiga pekan lalu.

Monster Hijau? Ya, inilah organisasi para relawan yang peduli kawasan pesisir utara Jakarta, khususnya Suaka Margasatwa Muara Angke dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Ada dua lembaga yang memfasilitasi terbentuknya Jakarta Green Monster: Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta dan Fauna and Flora International (FFI) Indonesia Programme.

Kami ingin menjadikan Jakarta Green Monster sebagai gerakan sukarelawan warga kota, ujar Frank Momberg, Direktur Pengembangan Program FFI Asia Pasifik, kepada Tempo pada Rabu pekan lalu. Niat Frank mendapat sambutan cukup hangat. Sampai saat ini ada 1.000 warga yang telah mendaftar sebagai relawan. Mereka berasal dari kalangan pegawai negeri sipil, pegawai swasta, mahasiswa, pencinta alam, wartawan, guru, ibu rumah tangga, dan lainnya.

Organisasi ini juga mampu menarik warga kelas bawah yang tinggal di Kelurahan Kapuk Muara dan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan. Mereka mendorong warga membentuk Kelompok Peduli Kali Angke dan mengajarkan proses daur ulang sampah serta menanam pohon bakau. Setiap bulan kami menjual dua rim kertas ke kantor Wali Kota Jakarta Utara, ujar Abdul Azis, ketua kelompok.

Kertas tersebut berasal dari sampah yang hanyut di Kali Muara Angke. Warga dua kelurahan ini juga dilatih menjadi pemandu wisata ke Pulau Rambut yang jaraknya 19 kilometer dari Muara Angke. Para warga yang umumnya buruh pabrik, tukang ojek dan ibu rumah tangga ini ikut menanam dan menjaga mangrove di pantai setempat.

Jakarta Green Monster ikut pula membenahi infrastruktur. Satu setengah tahun lalu Tempo menyaksikan sejumlah bangunan di Suaka Margasatwa Muara Angke dan Pulau Rambut yang rusak. Jalan panggung dari papan banyak yang berlubang dan panjangnya cuma 600 meter. Kini, gedung yang rusak itu difungsikan sebagai pusat informasi dan perpustakaan.

Di dekat dermaga, mereka membangun kafe yang menjual makanan organik, termasuk kertas dan produk dari bahan daur ulang buatan warga Kapuk Muara. Kamis dua pekan lalu, para pekerja mulai mengukur rencana jalan panggung sejauh 3,2 kilometer Jika sudah selesai, pengunjung bisa mengitari suaka margasatwa dan lebih dekat melihat burung, kata Ahmad Suwandi, pengurus Fauna and Flora International (FFI) yang menjadi anggota dewan pembina Jakarta Green Monster.

Menurut Suwandi, tidak ada makna khusus dari nama green monster. Hanya lucu-lucuan saja, katanya. Walau keanggotaan terbuka untuk umum, target utama organisasi ini adalah anak-anak dan remaja. Sejumlah kegiatan digelar untuk memikat pengunjung, terutama dua kelompok terakhir ini, umpamanya lomba Detektif Lingkungan serta kegiatan mengamati burung.

Ada 20 ribu burung dari 91 jenis yang tinggal di dua lokasi ini. BirdLife International yang berpusat di Inggris, memasukkan kedua tempat di Jakarta Utara serta Kepulauan Seribu itu sebagai daerah penting bagi burung di Jawa. Burung langka seperti cerek jawa, bubut jawa, dan bangau bluwok misalnya, tinggal di Pulau Rambut.

Selain dengan siswa SMA, Green Monster juga menggandeng 12 sekolah menengah pertama di Jakarta dan Kwartir Daerah Pramuka DKI Jakarta. Secara berkala, para murid melakukan kunjungan ke sana. Mereka menawarkan paket perjalanan ke Pulau Rambut dengan kapal motor. Untuk pelajar cuma dikenakan tarif Rp 20 ribu. Jika bermalam di Pulau Untung Jawa, lokasi yang dekat dengan Pulau Rambut, ditarik biaya Rp 125 ribu.

Samedi, Kepala BKSDA Jakarta, mengakui Jakarta Green Monster membantu kerja lembaganya mengelola suaka margasatwa di pesisir utara ibu kota. Anggaran dan petugas kami terbatas, ujarnya. Menurut dia, kedua lokasi itu memiliki keanekaragaman hayati sebagai pusat penelitian fauna dan flora, di samping menjadi pusat pendidikan lingkungan hidup dan wisata.

Para relawan Jakarta Green Monster pun memanfaatkan peluang tersebut, termasuk Sudarno. Dia mengajak murid-muridnya ke Muara Angke dan Pulau Rambut sebagai bagian dari mata pelajaran Bina Cinta Alam. Isu-isu lingkungan bisa digali dari pesisir utara Jakarta, kata guru biologi di SMA YMIK, Manggarai, Jakarta Selatan. Sekolah ini memilih pendidikan lingkungan hidup sebagai muatan lokal pengajarannya.

Para siswa banyak yang senang mengikuti pelajaran di alam terbuka ini. Termasuk Khusnul Khotimah, siswi kelas satu yang sudah empat kali ke Suaka Margasatwa Muara Angke dan Pulau Rambut. Gadis yang lahir dan menjalani masa remajanya di Purwokerto ini heran dengan burung langka yang bertebaran di Jakarta. Begitu juga dengan hutan mangrove yang ada. Namun dia risih karena sampah terus mengepung kedua lokasi itu.

Samedi mencatat, setiap hari ada 6 ton sampah yang dibawa Kali Angke. Ini masalah serius bagi kami, ujarnya. Angka itu belum termasuk sampah yang masuk melalui 12 sungai lain di Jakarta. Sejak dua tahun lalu, sampah itu sudah mencapai Pulau Pramuka yang jaraknya 45 kilometer dari pantai Ancol. Di Pulau Rambut yang tidak dihuni manusia, sandal jepit dan sampah plastik lainnya menutupi sebagian pantai.

Para relawan secara berkala memunguti sampah di lokasi suaka Muara Angke yang luasnya 25 hektare dan Pulau Rambut yang memiliki luas 90 hektare. Abdul Azis ikut mengerahkan warganya menjaring sampah di muara Kali Angke. Ibu-ibu kemudian memilah-milah dan mendaur ulang menjadi kertas dan produk lainnya.

Frank Momberg mengaku kagum dengan banyaknya warga, termasuk ibu rumah tangga yang mendaftarkan diri sebagai relawan. Daripada mengajak anak-anak ke mall, lebih baik ke Muara Angke dan Pulau Rambut, ujarnya menirukan beberapa ibu yang menjadi anggota Green Monster. Menurut Frank, dua lokasi itu merupakan ekosistem alami dan memiliki keanekaragaman hayati yang masih tersisa di Jakarta.

Dia menilai cukup banyak lembaga nonpemerintah yang melakukan advokasi lingkungan dan unjuk rasa terhadap kasus-kasus kerusakan lingkungan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Sementara yang melakukan pendidikan lingkungan dan perbaikan ekosistem di Ibu Kota bisa dihitung dengan jari. Padahal Jakarta jadi pintu rumah dan halaman depan Indonesia, kata Frank yang telah meneliti hutan di Indonesia selama 17 tahun.

Kota Bangkok, ujar Frank, bisa menjadi contoh. Sejak delapan tahun lalu, warga membantu menjaga hutan mangrove di muara Sungai Chaophraya. Keberhasilan yang sama juga terjadi di Singapura dan Hong Kong. Dia optimistis masyarakat madani di Jakarta mampu melestarikan hutan mangrove di halaman depan Jakarta.Untung Widyanto



Post Date : 16 Juli 2007