|
[JAKARTA] Isi perjanjian kerja sama (PKS) pengelolaan air minum di Jakarta, menjamin kepentingan mitra Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya aman dari risiko bisnis. Menurut Staf Badan Pengurus AMRTA Institute for Water Literacy, Wijanto Hadipuro, amannya kepentingan bisnis mitra yang bekerja sama dengan PAM Jaya tersebut, membuat pengelolaan air minum di Jakarta sangat menarik bagi investor yang hanya ingin menuai untung. "Siapa pun yang menjadi pihak II (mitra PDAM, Red) tidak memiliki risiko dalam mengelola aset PDAM Jaya, bahkan tidak ada sanksi kalau mereka mau memutuskan kerja sama," kata Wijanto, dalam Seminar Evaluasi Privatisasi Air Minum di Jakarta, pekan lalu. Dia mengungkapkan, beberapa isi perjanjian kerja sama yang menguntungkan bagi mitra PDAM Jaya, antara lain penghasilan pihak II tidak bergantung pada tarif air minum, tetapi water charge (imbalan). Selisih pendapatan dari tarif dan water charge menjadi beban pihak pertama (dalam hal ini PDAM Jaya) dalam bentuk short fall. Sampai dengan 2003, short fall yang menjadi tanggungan PDAM Jaya sudah mencapai Rp 737,6 miliar. "Jadi sebenarnya, walaupun tarif air minum tidak naik, pihak II tidak masalah selama PDAM Jaya membayar short fall," ujar Wijanto. Selain itu, PDAM Jaya harus menanggung sejumlah biaya atau membayar kompensasi kepada pihak II, jika terjadi keadaan darurat yang menyebabkan pelanggan berkurang atau pelayanan air minum terganggu. "Sebagai contoh, jika terjadi kekeringan sehingga pasokan air terganggu, PDAM Jaya yang harus membiayai. Jadi pihak kedua tidak menanggung risiko dalam pengelolaan air," kata Wijanto. Dia menambahkan, keuntungan yang juga dinikmati PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ) selaku mitra PDAM Jaya, adalah internal rate of return (IRR) yang cukup tinggi. IRR adalah biaya untuk tenaga ahli, baik untuk keahlian yang mereka berikan dalam pengelolaan air minum (transfer pengetahuan, sumber daya manusia) maupun kebutuhan/perlakuan khusus yang diminta. "Di Inggris, IRR yang berlaku hanya sekitar tujuh sampai sembilan persen. Sedangkan di Jakarta IRR yang berlaku sebesar 22 persen. Bayangkan, mereka tidak memiliki risiko bisnis apa pun, tetapi minta IRR yang tinggi," ujar Wijanto. Terminasi Hal itu lanjutnya, makin diperparah dengan lemahnya posisi PDAM Jaya jika perjanjian kerja sama diakhiri (terminasi). Pasalnya, kondisi apa pun yang menyebabkan PKS berakhir, PDAM Jaya yang harus menanggung seluruh biaya. Jika pengakhiran PKS dilakukan atas inisiatif PDAM Jaya karena menilai kegagalan Palyja dan TPJ dalam memberikan jaminan pelaksanaan pemeliharaan aset, maka PDAM yang harus membayar harga dasar pengakhiran. Jika PKS diakhiri karena kegagalan pihak II dalam tahun takwin mencapai 70 persen target teknis dan membayar kewajiban kepada pihak I, maka PDAM yang harus membayar harga dasar pengakhiran. Bahkan, meskipun pengakhiran PKS dilakukan atas inisiatif pihak II (atas permintaan Palyja dan TPJ), PDAM Jaya tetap membayar harga dasar pengakhiran ditambah nilai bersih buku sekarang sebesar 50 persen dari sisa tahun PKS, yang diasumsikan dari laba historis dua tahun sebelum pengakhiran dan dua tahun berikutnya. "Jika didasarkan pada nilai buku sekarang dan sisa tahun kerja sama, biaya yang harus ditanggung PDAM Jaya kalau terjadi terminasi, berkisar antara Rp 6,75 triliun sampai Rp 8,75 triliun," ujar Wijanto. Terkait dengan itu, Wijanto mengusulkan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI harus segera merevisi isi PKS yang sangat timpang dan merugikan PDAM Jaya. Jika tidak, hal itu akan menjadi salah satu daya tarik yang ditawarkan Palyja dan TPJ kepada investor lain yang ingin berinvestasi dalam pengelolaan air minum di Jakarta. Dia menegaskan, revisi PKS harus segera dilakukan agar Pemprov DKI dan PDAM Jaya tidak menanggung banyak kerugian di kemudian hari kepada banyak investor, terkait dengan perubahan pemegang saham yang kini terjadi di Palyja dan menyusul TPJ. [J-9] Post Date : 13 November 2006 |