Miskin Air Baku, Jakarta Krisis Air Bersih

Sumber:Jurnal Nasional - 30 Desember 2011
Kategori:Air Minum
PADA 30 September 2011 dinihari, pintu air Kali Buaran di Kalimalang, Duren Sawit, Jakarta Timur, runtuh. Dampaknya, lebih dari ribuan orang di Jakarta menghadapi kesulitan air bersih. Jakarta dilanda krisis air bersih. Istana Negara pun merasakannya.
 
Krisis berlangsung selama hampir satu pekan. Dengan membawa jerigen, galon air kosong dan wadah lainnya, warga berduyun-duyun mengantri untuk membeli air bersih melalui tangki-tangki air yang sengaja diadakan untuk mengatasi krisis itu. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan karena Jakarta bukan daerah tandus yang rawan kekeringan. Apalagi Jakarta adalah ibu kota negara.
 
Terlepas dari kejadian tersebut sebagai kecelakaan atau bukan, pesan yang dapat ditangkap adalah masih “mahalnya” air bersih di Jakarta. Ini sekaligus berarti, Jakarta krisis air bersih. Krisis di sini diartikan sebagai kekurangan.
 
Sangat Parah
 
Menurut peneliti dan staf pengajar di Fakultas Teknik Universitas Indonesia Firdaus Ali, krisis air bersih di Jakarta berada dalam taraf sangat parah. “Masalah di Jakarta selain kemacetan adalah krisis air bersih yang identik dengan kekurangan. Krisis air bersih di ibu kota sudah sangat parah,” ujar Firdaus kepada Jurnal Nasional, Sabtu (24/12).
 
Dari jumlah penduduk DKI Jakarta sekitar 9,6 juta jiwa, kata dia, baru 36 persen yang bisa menikmati air bersih melaui perpipaan. Angka ini berselisih jauh dibandingkan dengan data yang dirilis oleh PT Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya). Pada  acara jumpa pers akhir tahun dengan media massa, Kamis (22/12) lalu, PAM Jaya menyebutkan, sampai akhir tahun 2011, jumlah masyarakat yang bisa menikmati air bersih perpipaan adalah 61,54 persen dari total penduduk DKI Jakarta atau 804.534 juta jiwa.
 
Angka ini tak meningkat jauh dibanding tahun 2010 di mana kebutuhan air bersih masyrakat DKI yang terpenuhi sesuai data Kementerian Pekerjaan Umum sekitar 60 persen. Sementara volume air air bersih sampai akhir tahun 2011, menurut PAM Jaya, diperkirakan mencapai 401.902.715 meter kubik (m3). Dari jumlah itu, volume dari dua operator air mitra kerja PT PAM Jaya, PT Palyja dan PT Aetra, masing-masing 153.260.433 m3 dan 248.642.282 m3. “Itu angka di atas kertas. Riilnya, cakupan layanan perpipaan baru mencapai 36 persen dari total 9,6 juta penduduk DKI,” imbuh Firdaus.
 
Menurut pria yang juga anggota Dewan Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan krisis air bersih tersebut. Pertama, pasokan air baku kurang. Selama ini suplai air baku Jakarta sebesar 97,8 persen dari luar wilayah DKI Jakarta, yaitu: dari Waduk Jatiluhur dan Kali Cisadane. DKI hanya memiliki ketahanan air baku 2,2 persen. “Angka ini adalah yang terburuk di Asia,” tegas Firdaus. Sementara versi PAM Jaya, sumber air bersih Jakarta dari Sungai Ciliwung sebesar 402.164.063 m3 dan  dari Tangerang sekitar 93.852.000 m3.
 
Kedua, tingkat kebocoran air (nonrevenue water/NRW) yang masih tinggi yaitu 43 persen. ”Dianalogikan ke orang, itu sudah meninggal. Idealnya, di bawah 5 persen seperti di Singapura,” tuturnya. Sementara PAM Jaya mengklaim NRW tahun ini turun 2,2 persen menjadi 43,3 persen dari volume air yang terjual.
 
Selanjutnya, persoalan tarif air yang tinggi dan ini tidak bisa dilepaskan dari masalah krisis air bersih di Jakarta. Tarif air di Jakarta menjadi yang tertinggi di Asia, tidak termasuk Jepang dan Singapura. “Namun, dari segi kualitas, air perpipaan di Jakarta juga tidak lebih baik dibanding di Phnom Penh,” ujar Firdaus.
 
Pusat Turun Tangan
 
Untuk mengatasi persoalan krisis air bersih ini, menurutnya, pemerintah pusat perlu turun tangan dengan mengacu pada bunyi Pasal 33 UUD. Negara mempunyai kewajiban konstitusi untuk membuat kebijakan terkait masalah air yang notabene disebutkan dalam pasal itu dikuasai oleh negara. Apalagi status Jakarta sebagai ibu kota negara selain sebagai ibu kota Provinsi DKI Jakarta.
 
“Adakah subsidi negara untuk air? Subsidi pangan tanpa didukung subsidi air tidak akan berhasil. Siapa pun yang ingin menjadi presiden yang dikenang rakyatnya, provide rakyat dengan air bersih yang cukup,” ujarnya.
 
Solusi berikutnya yaitu, pemerintah perlu fokus pada perbaikan infrastruktur air baku. Kemudian, terkait tarif air yang tinggi, tegas Firdaus, perlu rebalancing perjanjian kerja sama dengan kedua operator air. ”Perjanjian yang dibuat pada zaman Orde Baru itu dinilai merugikan PAM Jaya. Kontrak tidak balance karena dubuat pada zaman Soeharto dan penuh campur tangan banyak pihak,” ungkapnya.
 
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta menyatakan, telah terjadi kesalahan dalam pengelolaan sumber daya air. Akibatnya air sungai, danau, dan kanal yang seharusnya bisa diolah menjadi sumber air baku, tak bisa dimanfaatkan. Sebab, sudah tercemar logam berbahaya.
 
“Tingkat ketercemaran logamnya sudah sangat tinggi. Karena itu, sumber air tawar tersebut perlu direvitalisasi dan dinormalisasi. Hal itu penting untuk ketersediaan air baku dan air tanah, supaya tidak habis,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Ubaidillah, kepada Jurnal Nasional, Jumat (23/12). Nofrita


Post Date : 30 Desember 2011