|
TAK banyak yang tahu, ada salah satu zona tanah lunak di kawasan perkantoran Jalan Thamrin, Jakarta. Kawasan ini juga dikenal sebagai kawasan Burried Valley atau lembah yang terkubur. Yang mengejutkan, hasil monitoring hidrograf dari 11 sumur pantau di kawasan tersebut menunjukkan kenaikan muka air tanah progresif rata-rata 12 sentimeter per tahun. "Kawasan Jalan Thamrin merupakan zona titik lemah (soft spot) di mana konstruksi bangunan di atasnya, apakah itu bangunan tinggi, konstruksi basement ataupun jaringan infrastruktur lainnya harus direncanakan secara khusus," papar Prof Ir Chaidir Anwar Makarim MSE PhD saat pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Geoteknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Tarumanegara di Jakarta, Kamis (22/7). Kenaikan muka air tanah bisa diakibatkan oleh tiga hal: volume limbah buangan perkantoran yang makin lebih besar dari penggunaan air sumur dangkal, terjadi penurunan tanah progresif di kawasan tersebut yang lazim dialami oleh kawasan dengan lapisan tanah lunak cukup tebal (seperti kasus jalan tol bandara Sedyatmo), dan kombinasi keduanya. Pemantauan kontinu sejak 1975-1999 tersebut dilakukan di Jalan Gereja Theresia, Jalan Yusuf Adiwinata, Hotel Sari Pasifik, Gedung Sarinah, Wisma Nusantara, Rumah Susun Kebon Kacang, rumah penduduk Kebon Kacang, Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa, Sekolah PSKD, Jalan Kebon Sirih, dan Jalan Budi Kemuliaan. Kawasan di sekitar Jalan Thamrin dalam radius kurang lebih satu kilometer ini, menurut Chaidir, memiliki lapisan tanah yang juga berubah secara progresif. Potensi kegagalan Chaidir yang juga menjabat sebagai Ketua Pusat Kajian Geoteknik dan Lingkungan Universitas Tarumanegara ini menyatakan, potensi kegagalan konstruksi di kawasan Thamrin cukup tinggi dan tersembunyi dalam perilaku deformasi jangka panjang tanah lunak atau yang biasa disebut konsolidasi sekunder dari lapisan tanah yang under-consolidated serta kenaikan muka air tanah itu sendiri. Yang pertama telah menyebabkan kawasan ini memimpin sejumlah kegagalan konstruksi yang mungkin paling besar dibandingkan dengan kawasan lainnya di Jakarta. Yang kedua, adalah fenomena kota metropolitan dengan kegiatan perkantoran dan bangunan tinggi lainnya menyebabkan volume air buangan lebih besar dibandingkan dengan yang digunakan masyarakat dari sumur dangkalnya. Pencemaran muka air tanah adalah salah satu penyebab menurunnya penggunaan air sumur dangkal oleh penduduk. Hasil monitoring menunjukkan muka air tanah dangkal bukan saja tidak memenuhi persyaratan air minum, tetapi juga peningkatan kadar pencemaran dari zat organik, besi, nitrat, mangan, dan sulfate yang berpotensi korosif terhadap bahan konstruksi beton dan besi tulangan. Fenomena juga terjadi di kota besar lainnya seperti London. Untuk itu, ancaman korosi dan peningkatan kelembaban pada konstruksi basement serta tidak berfungsinya jaringan pembuangan air limbah akibat muka air tanah yang dangkal (1,50-3,00 meter dari muka laut) perlu disiasati. Menurut Chaidir, dampak bentuk cekungan piring (dishing effect) mengakibatkan kawasan ini rentan terhadap banjir dan kerusakan konstruksi yang cukup serius. Untuk itu, Chaidir menganjurkan diberlakukannya persyaratan khusus dalam pemberian izin mendirikan bangunan di kawasan tersebut dan monitoring yang kontinu atas kelayakan bangunan yang sudah berdiri agar tidak terjadi dampak negatif yang lebih besar lagi di kemudian hari. (LOK) Post Date : 23 Juli 2004 |