|
TAK ada yang bakal memungkiri. Selama masih ada rasa haus dan gemar minum, manusia pasti pernah merasa kebelet untuk buang air kecil. Terkadang, rasa ingin buang air itu sangat sulit ditahan. Bagi kaum pria, terutama mereka yang suka nekat, bisa saja mereka pipis di balik pohon, di balik pintu mobil, atau di tempat-tempat yang dirasa tersembunyi. Namun, bagi kaum wanita, nanti dulu.... DIAM-diam, kebutuhan biologis itu menjadi ajang bisnis menggiurkan di Jakarta. Sepintas, bisnis pelayanan publik itu terkesan jorok. Bau pesing pasti menjadi aroma menyengat yang sangat dekat dengan kelangsungan bisnis ini. Namun, siapa sangka, bisnis fasilitas publik itu malah menjadi incaran, apalagi hasilnya lumayan menggiurkan. Tak heran, akhir-akhir ini bisnis WC umum atau lebih keren disebut peturasan juga menjadi perhatian Ketua DPRD DKI Jakarta terbaru, Ade Surapriyatna. Baru memulai memimpin "gerbong" wakil rakyat untuk periode tahun 2004-2009, Ade sudah mengeluarkan gagasan untuk menghapuskan retribusi senilai Rp 300 per orang untuk peturasan (WC umum) di terminal bus antarkota/dalam kota. Alasannya, WC umum terminal itu sangat dibutuhkan masyarakat. WC umum dinilai sebagai kebutuhan sangat mendasar dari rakyat. Karena itulah, sudah sewajarnya pengguna WC umum itu tidak dikenai retribusi. Pada kenyataannya, realisasi penghapusan retribusi tidaklah semudah yang dibayangkan. Arif, seorang penjaga WC umum di Terminal Kampung Rambutan, mempertanyakan dari mana dana perawatannya kalau retribusi dihapus. Sebab, perawatan itu harus dilakukan setiap hari, bahkan setiap saat. Arif menuturkan, perawatan harus dimulai dengan memelihara kebersihan pelataran dan kamar mandinya, terutama saat musim hujan. Tentu, itu membutuhkan biaya untuk membeli sabun dan pewangi. "Lagi pula, kalau retribusi dihapus, kesejahteraan penjaga WC juga belum tentu berubah drastis kok," kata Arif, Selasa (28/9), menyangsikan gagasan penghapusan retribusi itu. BETULKAH bisnis di pojokan-pojokan terminal ini sangat menggiurkan? Bagaimana pula penjaga WC umum bisa bertahan, duduk berjam-jam mengumpulkan uang receh atau paling besar uang kertas Rp 1.000? Cobalah lihat di terminal-terminal yang terdiri dari terminal dalam kota dan luar kota, seperti Lebak Bulus di Jakarta Selatan yang memiliki sembilan lokasi WC umum. Juga lihatlah Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, yang mempunyai 10 lokasi, dan Terminal Blok M yang memiliki empat lokasi WC umum boks. Sebagian dikelola pengusaha WC umum, sebagian lainnya dikelola sebuah yayasan. Beberapa penjaga WC umum di situ menyebut, ada WC umum yang dikelola yayasan milik pensiunan Dinas Perhubungan DKI Jakarta. "Saya sih cuma menjaga dari pagi sampai sore saja. Sebab, terminal ini memang tidak ramai, kalau malam hari," kata Masduki (40-an) asal Cirebon, Jawa Barat. Dalam sehari, kesembilan WC umum itu bisa melayani masing-masing sekitar 100 konsumen. Untuk menggunakan fasilitas itu, tarifnya sangat bervariasi. Ada yang terang-terangan menyebut Rp 300 per orang, tetapi ada juga yang memasang tarif Rp 1.000 per orang. Setiap hari, penjaga WC umum harus menyetor kepada bosnya sebesar Rp 75.000 hingga Rp 100.000 per lokasi. Artinya, setoran di sembilan lokasi WC umum itu bisa mencapai Rp 900.000 per hari. Dalam sebulan, pengusaha WC umum di satu terminal bisa mengantongi sekitar Rp 27 juta. Dengan kata lain, satu tahun penghasilan yang menggiurkan itu bisa mencapai Rp 324 juta. Kalau dikumpulkan seharian saja, terutama saat ramainya konsumen, penjaga WC umum sebagai ujung tombak pelayan publik bisa mengantongi sisa setoran sebesar Rp 20.000-Rp 30.000 per hari. Itu sudah dikurangi biaya membeli sabun dan karbol pewangi Rp 10.000 untuk satu minggu. "Biar kelihatannya sering dapat duit lebih, tetap saja hidup saya kayak begini, enggak pernah makin kaya," ujar Aler (37), penjaga WC umum asal Medan di Terminal Lebak Bulus. Kondisi serupa dialami Charles (45) asal Indramayu, Jawa Barat, yang sudah 11 tahun menjadi penjaga WC umum di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Setiap hari, Charles menggantungkan hidupnya dari sisa setoran menjaga WC umum. "Kalau disetor Rp 100.000, paling saya masih bisa mengantongi sisanya sekitar Rp 30.000 per hari. Itu juga belum dipotong uang sabun," kata lelaki yang harus menghidupi tiga anaknya di kampung. Untuk mencukupi nafkah keluarganya, Charles harus bekerja selama satu bulan penuh, tanpa libur. Bukan cuma menjaga, tetapi juga merawat dan membersihkan delapan kamar mandi. Selama bekerja, Charles menghabiskan waktunya di pintu masuk WC itu, dari pukul 06.00 hingga pukul 17.00. Pada ujungnya, bisnis WC umum memang menggiurkan bagi si pemilik modal. Tetapi, nasib penjaga yang setiap hari menghirup bau pesing tetap saja sengsara.(STEFANUS OSA TRIYATNA) Post Date : 29 September 2004 |