Meski Banjir, Anak-anak Tetap Harus Sekolah

Sumber:Kompas - 14 Maret 2008
Kategori:Banjir di Jakarta

Hari masih gelap ketika sejumlah warga berjalan di gang kecil menuju Jalan Raya Jatinegara Barat, Jakarta Timur, Kamis (13/3). Mereka dengan tenang dan perlahan-lahan menyusuri jalan gang yang dipenuhi air kali yang keruh. Ketika itu waktu menunjukkan sekitar pukul 04.00.

Di antara warga yang berjalan beriringan, ada seorang ibu bernama Khodijah (59) yang pagi itu mengenakan kaus putih dengan tas ransel menggantung di pundaknya. Tas itu hanya berisi dua potong pakaian ganti, satu untuk dirinya dan satu lagi untuk anak tunggalnya, Eko Prasetyo (18).

Khodijah, warga RT 10 RW 02, Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, memutuskan mengungsi sementara ke pinggir jalan raya. Ia memilih mengungsi lantaran rumahnya dilanda banjir dari Bogor, Jawa Barat, yang tingginya sudah lebih dari lutut orang dewasa.

”Barang-barang yang penting saja yang saya bawa, salah satunya pakaian ganti. Anak saya juga membawa sendiri semua perlengkapan sekolah, termasuk sepatu dan seragamnya. Pagi ini dia harus sekolah, apalagi sekarang masih masa ujian semesteran,” tutur Khodijah.

Di wilayah Kampung Pulo, permukiman yang dilanda banjir kiriman meliputi RW 02 (17 RT) dan RW 03 (16 RT). Permukiman yang dihuni sekitar 8.000 orang itu berada di sekitar daerah aliran Sungai Ciliwung.

Petugas Pintu Air Manggarai, Jakarta Pusat, Adi Widodo, yang ditemui Kamis pukul 03.00, menuturkan, hari Rabu wilayah Bogor diguyur hujan sejak pukul 15.00. Pada pukul 19.00 tinggi permukaan air di Pintu Air Katulampa, Bogor, mencapai 160 cm. Padahal, tinggi permukaan air saat normal 80 cm.

Banjir kiriman pun mengalir melalui Pintu Air Depok dan Manggarai. Pagi kemarin pukul 06.30 banjir sudah mencapai 2 meter lebih.

Langganan banjir

Khodijah menyadari betul bahwa kampungnya merupakan tempat langganan banjir sebagaimana di Kelurahan Petamburan, Bidaracina, Cawang, Petogogan, dan Cipinang Muara di wilayah Jakarta.

Perempuan asal Cirebon yang ditinggal mati suaminya sejak tahun 1998 itu tidak panik ”menerima” banjir kiriman. Oleh sebab itu, Khodijah hanya mengungsi sementara dan hanya berbekal dua pakaian ganti.

”Sebenarnya bisa saja saya berlindung di loteng rumah (rumah dua lantai), tetapi nanti Eko tidak bisa sekolah. Kasihan dia karena Eko masih ada ujian semester dan tahun ini mudah-mudahan dia lulus,” ujar perempuan yang mencari nafkah dari berjualan rempeyek dan pisang goreng itu.

Eko saat ini duduk di bangku Kelas III Jurusan Otomotif SMK Karya Bakti di Jalan Matraman. Pemuda pendiam itu kemarin mengikuti hari ketiga ujian. Ujian semesternya akan berakhir Sabtu besok.

Meskipun biasa menghadapi banjir kiriman, tetap saja ada keinginan untuk pindah rumah. Namun, itu tidak mungkin karena ia tidak punya uang untuk membeli rumah. Lagi pula sertifikat tanah dari rumah warisan yang kini ditempati disimpan oleh anak dari istri pertama almarhum suaminya.

Serupa dengan langkah yang diambil Khodijah, Sunarsih (34), warga RT 01 RW 03, Kampung Pulo, bersama suaminya, Mohamad Zaini (40), serta dua anaknya, Suryani (16) dan Surahman (12), juga mengungsi sementara.

Sunarsih hanya membawa barang, uang seperlunya, dan surat-surat berharga, seperti kartu keluarga (KK), ijazah, dan akta kelahiran. Tak lupa ia membawa tikar, tas, dan bantal kecil. Uang itu untuk berjaga-jaga membeli makanan dan minuman jika mereka harus tinggal di pinggir jalan untuk beberapa hari.

Perlengkapan sekolah dibawa sendiri oleh anaknya, Surahman, yang kini duduk di Kelas VI SD Negeri Kampung Melayu 02. Anaknya yang perempuan, Suryani, hanya tamat SMPN I Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah.

”Hari ini Surahman tetap sekolah karena barang-barang keperluannya, termasuk seragam, sudah disiapkan,” ujar Sunarsih yang tinggal di Kampung Melayu selama 17 tahun.

Istri dari tukang panggul di Pasar Jatinegara itu tinggal di rumah kontrakan. Mereka mengontrak rumah dengan biaya sebesar Rp 2 juta per tahun.

”Sebenarnya mau saja kami pindah, tetapi apa nanti kami bisa mengontrak rumah di tempat lain kalau harganya mahal-mahal. Pendapatan suami saya per hari paling besar cuma Rp 25.000,” kata Sunarsih.

Muhammad (64), warga RT 07 RW 02, Kampung Pulo, mengungkapkan, banjir kiriman yang melanda kampungnya itu sejak Desember 2007 sudah yang ke-15 kalinya.

Mereka terkesan menjadi terbiasa dengan banjir dan pandai menyiasatinya. Meski banjir datang, urusan sekolah anak-anak tak boleh terhalang. Anak-anak harus tetap sekolah. Samuel Oktora dan Windoro Adi



Post Date : 14 Maret 2008