|
Direktur Utama PT PAL Indonesia, Harsusanto, didakwa memfitnah dan mencemarkan nama baik seorang peneliti. Kasus ini dipicu sengketa hak paten mesin penghalau sampah sungai. Pengaduan Raut wajah Direktur Utama PT PAL Indonesia, Harsusanto, tampat tegang ketika menjalani pemeriksaan di kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta, Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin dua pekan lalu. Harsusanto yang telah berstatus tersangka itu diperbolehkan pulang setelah diperiksa. ''Karena ancaman hukumannya di bawah lima tahun, tersangka tidak harus ditahan,'' kata juru bicara Kejati DKI Jakarta, Mustaming. Orang nomor satu di perusahaan milik negara yang bergerak di industri dok dan perkapalan itu diduga telah memfitnah dan mencemarkan nama baik Poltak Sitinjak. Pada 9 Maret 2007, Poltak melaporkan Harsusanto dan Bon Chul Koo, seorang warga Korea Selatan, ke Mabes Polri. Pada waktu itu, Harsusanto menjabat sebagai Direktur Utama PT Barata Indonesia. Pemicunya, Poltak marah dituding bahwa mesin temuannya adalah jiplakan mesin sejenis yang diproduksi perusahaan asal Korea Selatan. ''Harsusanto dan Bon Chul Koo merekayasa seolah-olah mesin temuan klien saya menjiplak dari perusahaan Korea Selatan,'' kata Berman Simbolon, kuasa hukum Poltak. Padahal, menurut Berman, Poltak yang seorang peneliti itu menemukan mesin penyaring sampah otomatis dengan menggunakan teknologi yang disebut mekanikal elektrikal hidrolik. Setelah diuji coba, ternyata mesin karya Poltak itu cukup efektif untuk menghalau timbunan sampah di aliran sungai. Cara kerja mesin ini sangat praktis dibandingkan dengan mesin-mesin sejenis yang diimpor dari luar negeri. ''Keunggulan lainnya, harga yang ditawarkan jauh lebih murah dari kompetitornya,'' kata Berman. Poltak mengajukan permohonan pendaftaran paten mesin temuannya ke Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan HAM, pada 17 Februari 2003. Permohonan itu dikabulkan. Pada 15 Juni 2004, terbit sertifikat paten yang teregister dengan kode ID No. 0000490S. Paten ini berlaku hingga 17 Februari 2013. Setelah mengantongi paten, lewat bendera PT Asiana Technologies Lestary (Asiana), Poltak memproduksi dan menjual mesin temuannya itu. Ternyata mesin buatan Poltak itu laris manis. Mesin temuan Poltak digunakan di sejumlah sungai untuk mengantisipasi banjir. Mulai Kali Dinoyo (Surabaya), Kali Grogol (Teluk Gong dan Palmerah, Jakarta), Kali Baru Barat (Tb. Simatupang, Jakarta), hingga Kali Banger (Semarang). ''Dalam waktu dekat, Asiana akan mengerjakan proyek pemasangan mesin penyaring sampah otomatis di Teluk Jakarta,'' tutur Poltak. Persoalan muncul. Pada 30 Januari 2007, temuan Poltak digugat PT Barata lewat Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. PT Barata menuntut paten milik Poltak dibatalkan. Dalam gugatannya, perusahaan pelat merah yang bergerak di industri strategis itu menuding paten milik Poltak tidak ada unsur kebaruannya. Argumentasinya, mesin penyaring sampah buatan Poltak itu sudah lama dikenal dan dipatenkan di luar Indonesia, jauh sebelum Poltak mendaftarkan patennya. Bahkan mesin-mesin sejenis buatan Korea Selatan telah lama digunakan di Indonesia. Meski mengaku tidak memproduksi atau memiliki kesamaan paten atas mesin yang disengketakan, hal itu bukan halangan buat PT Barata untuk menuntut pembatalan paten. PT Barata berpendapat, selaku pihak ketiga, ia punya kepentingan mengajukan gugatan. Alasannya, jauh sebelum Poltak memperoleh paten, PT Barata sudah menggunakan mesin penyaring sampah yang diimpor dari Korea Selatan. Karena itu, jika paten tidak dicabut, PT Barata khawatir, Poltak selaku pemegang paten akan memonopoli pembuatan dan penjualan mesin penyaring sampah di Indonesia. Untuk memperkuat dalilnya, di persidangan, PT Barata menyodorkan bukti berupa surat pernyataan (declaration) yang dikeluarkan perusahaan Korea Selatan, Kum Sung Ind Co Ltd. Surat tertanggal 11 Desember 2006 itu diteken Presiden Direktur Kum Sung, Bon Chul Koo. Kutipan surat itu menyebutkan, dalam kurun waktu 2002 hingga 2004, Kum Sung pernah menjual produk unggulannya berupa mesin penyaring sampah otomatis, yang diberi nama Hydraulic Slide Type Trash Removing System, ke Indonesia. Salah satu pembeli mesin itu, menurut surat tersebut, adalah PT Asiana, perusahaan milik Poltak. Dipaparkan pula dalam surat itu bahwa PT Asiana mendapat mesin itu dari importir asal Korea Selatan, Ariko Enterprises Ltd. Menurut Berman, peristiwa pidana terjadi ketika surat Kum Sung digunakan sebagai barang bukti di persidangan. Karena itu, usai sidang, Poltak melaporkan kasus penggunaan surat Kum Sung tersebut ke Mabes Polri. ''Karena yang mengajukan gugatan adalah PT Barata. Sementara pada saat itu, Harsusanto menjabat Dirut PT Barata. Maka, orang yang paling bertanggung jawab atas penggunaan surat Kum Sung adalah Harsusanto,'' ujar Berman. Tiga hari setelah Poltak melaporkan Harsusanto dan Bon Chul Koo ke polisi, pihak Ariko, yang disebut-sebut mengimpor mesin untuk PT Asiana, mengeluarkan surat testimoni. Isi surat tertanggal 12 Maret 2007 itu menyebutkan bahwa Ariko tidak pernah mengimpor mesin penyaring sampah produksi Kum Sung untuk PT Asiana, seperti disebutkan dalam surat Kum Sung. ''Surat testimoni dari Ariko menjadi bukti kuat telah terjadi fitnah terhadap klien saya,'' Berman menegaskan. Pada saat kasus pidananya masih bergulir di kepolisian, perkara gugatan patennya mulai diputus pengadilan. Pada 8 Mei 2007, pengadilan menolak gugatan PT Barata. Majelis hakim menganggap, PT Barata gagal membuktikan adanya kesamaan antara paten sederhana milik Poltak dan paten serupa yang diklaim milik produsen asal Korea Selatan. Mengenai bukti surat Kum Sung yang menyebut adanya impor mesin produk Kum Sung untuk PT Asiana, majelis hakim menilai surat itu tidak spesifik mengurai adanya kesamaan paten. Karena itu, majelis hakim mengesampingkan bukti tersebut. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi PT Barata. Isi putusan MA tertanggal 19 Februari 2008 itu menyatakan, paten sederhana milik Poltak tidak memiliki nilai kebaruan sehingga tidak dapat diberikan paten. ''Terhadap putusan MA itu, klien saya sudah mengajukan PK (peninjauan kembali),'' kata Berman. Jika mengacu pada putusan kasasi, artinya argumen PT Barata menuntut pembatalan paten milik Poltak dibenarkan MA. Wajar bila kuasa hukum Harsusanto, Darwis Marpaung, mempertanyakan alasan polisi dan kejaksaan tetap memidanakan kliennya. ''Kok, dilaporkan pidana. Apa hubungannya? Ini ada apa?'' Darwis mempertanyakan. Hanya saja, ketika Gatra meminta konfirmasi lebih lanjut mengenai perkara pidana dan gugatan paten, Darwis menolak berkomentar. ''Saat ini saya belum bisa memberikan banyak komentar,'' ujarnya. Keberatan Darwis atas penetapan tersangka pada kliennya dimentahkan polisi. Wakil Direktur I (Keamanan Trans-Nasional) Bareskrim Mabes Polri, Komisaris Besar Bahtiar H. Tambunan, menyatakan bahwa polisi punya alasan untuk menetapkan Harsusanto sebagai tersangka. Yakni, berkas pemeriksaannya telah lengkap alias P21. Karena itu, Senin dua pekan lalu, polisi menyerahkan berkas perkara Harsusanto ke Kejati DKI Jakarta. Soal benar ada atau tidaknya fitnah dan pencemaran nama baik, kata Bahtiar, tunggu saja proses hukum di pengadilan. Sujud Dwi Pratisto, Deni Muliya Barus, Anthony, dan M. Nur Cholish Zaein Post Date : 26 Juni 2008 |