|
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentunya tidak berbasa-basi ketika menyatakan pemerintah mengharapkan peran pengusaha dalam pembangunan. Kita tidak lagi hidup pada zaman etatisme. Pemerintah sadar betul akan keterbatasan kemampuannya sebagai motor pembangunan dan pertumbuhan. Sekarang ini dunia usahalah yang menjadi motor pembangunan. Dari investasi yang dilakukan pengusahalah tersedia lapangan kerja dan terjadinya pertumbuhan. Semakin benarlah pandangan yang sering kita ungkapkan bahwa ke depan kemajuan Indonesia ditentukan oleh tiga pilar yang harus saling menopang. Ketiga pilar itu adalah pilar pelaku politik, pilar masyarakat madani, dan pilar pelaku ekonomi. Pertanyaannya, mampukah ketiga pilar itu berjalan bersama, bekerja sama menuju cita-cita besar bersama? Kalau kita belum juga mampu keluar dari situasi serba krisis hingga sekarang ini, itu karena ketiga pilar tersebut masih berjalan sendiri-sendiri. Mereka masih asyik dengan dirinya sendiri-sendiri. Kalaupun sadar akan tujuan yang hendak dicapai, jalan yang ditempuh berbeda-beda, bahkan kadang bersilangan. Satu contoh yang sederhana bisa dilihat di sektor pertanian. Demi memenuhi penerimaan negara, pemerintah gencar memungut pajak. Tidak terkecuali perusahaan yang berorientasi ekspor atau bukan, beban pajak yang harus mereka bayar tetap sama. Anehnya untuk produk primer umumnya kita tidak mengenakan pajak. Maka apa yang terjadi? Seperti terjadi sejak zaman Belanda dulu, kita dikenal di seluruh dunia sebagai pengekspor utama untuk produk-produk primer, mulai dari kopi, karet, lada, hingga kakao. Akibatnya, kita tak pernah menikmati nilai tambahnya. Padahal, kalau kita paksa produk itu untuk diolah di sini, maka bukan hanya industrinya yang berkembang, lapangan kerja pun terbuka lebar, dan akhirnya kita pasti bisa menikmati harga jual yang lebih tinggi. Tidak seperti sekarang kita akhirnya hanya jadi pasar dari produk jadi dari komoditas primer yang kita hasilkan sendiri. Pikiran untuk memilih industri dan membesarkannya menjadi sangat penting. Ini bukan hanya membutuhkan konsep yang jelas, tetapi juga pengorbanan. Kita sering kali tidak sabar, ingin buru-buru bisa memetik dan ingin selamat sendiri-sendiri. Akibatnya tanpa kita sadari kita membunuh ayam yang sebenarnya kita harapkan menghasilkan telur. Inilah yang ingin juga kita ingatkan dalam kaitan penanganan krisis energi sekarang ini. Jangan sampai upaya untuk keluar dari krisis justru mematikan mesin pembangunan itu sendiri. Sebab, kalau itu yang terjadi, kita bisa selamat untuk jangka pendek, tetapi kita akan menderita untuk jangka panjang. Para pengusaha sangat sadar bahwa kenaikan harga BBM memang tidak mungkin bisa dihindarkan. Yang mereka butuhkan adalah kompensasi untuk mengurangi beban pada biaya produksi. Pemerintah tentunya bisa melakukan dengan mengurangi pungutan yang membebani atau membenahi birokrasi yang terlalu panjang. Ancaman Kemiskinan Global Kemiskinan digambarkan sebagai salah satu ancaman terbesar abad ke-21. Dalam kenyataannya, kemiskinan memang kejam, bahkan lebih kejam dari perang. Bayangkan, kini ratusan juta orang terancam mati akibat komplikasi kemiskinan. Ironinya, kemiskinan dengan segala ekspresinya, seperti kelaparan dan penyakit, merebak di tengah kemajuan modernisasi. Bumi tempat manusia hidup terus dirusak oleh kemiskinan di samping ketimpangan sosial, konflik bersenjata, wabah penyakit, dan kehancuran ekologis. Kenyataan itu antara lain diingatkan lagi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari Rabu, 3 Agustus, di Jakarta ketika membuka pertemuan tentang bahaya kemiskinan di kawasan Asia Pasifik. Pertemuan tingkat menteri yang diikuti sekitar 41 negara itu dianggap penting karena sedikitnya 14 negara di kawasan ini, seperti Afganistan, Kamboja, Banglades, dan Timor Timur, sedang terperangkap dalam kemiskinan. Hasil pertemuan diharapkan akan memerinci program untuk mencapai Tujuan Pembangunan Abad Milenium (Millennium Development Goals/MDG). MDG merupakan program PBB untuk mengurangi kemiskinan global hingga 50 persen sampai tahun 2015. Ancaman kemiskinan tidak hanya membahayakan ribuan orang, tetapi ratusan juta orang di seluruh dunia saat ini. Sekitar 750 juta orang sedang terancam mati kelaparan. Kondisi merisaukan ini akan bertambah buruk jika tidak segera diatasi. Negara-negara yang sedang terperangkap dalam kemiskinan seakan kehilangan tenaga untuk melepaskan diri. Maka sangat diperlukan kerja sama global untuk mengatasi krisis kemanusiaan itu. Hasil survei pimpinan ekonomi terkenal Jeffrey D Sachs menyebutkan, kemiskinan global dapat dikurangi secara drastis jika negara-negara industri menggandakan bantuannya kepada negara-negara miskin. Namun telah timbul skeptisisme karena negara-negara maju terkesan kurang tergugah menambah bantuan. Lebih memprihatinkan lagi, bantuan yang sudah terbatas itu sering dikorupsi oleh para pejabat negara penerima. Kekayaan hasil korupsi itu menciptakan ketimpangan sosial ekonomi di negara-negara berkembang. Kesenjangan tidak lagi hanya antara negara kaya dan negara miskin, tetapi juga antara golongan kaya dan miskin di setiap negara berkembang. Upaya pemberantasan kemiskinan terasa semakin sulit jika praktik korupsi tetap dibiarkan merajalela, dan masih belum terbentuk pemerintahan baik dan bersih, good and clean governance. Post Date : 05 Agustus 2005 |