Meresapkan Air, Kurangi Banjir

Sumber:Kompas - 06 Januari 2008
Kategori:Banjir di Jakarta
Pembangunan yang berlebihan di wilayah perkotaan menjadikan sebagian besar lahan tertutup bangunan. Di lain pihak, orang enggan membangun resapan sehingga air hujan sulit meresap ke dalam tanah dan berubah menjadi air limpasan (run off).

Resapan air memiliki fungsi penting untuk mengurangi genangan air dan banjir. Selain itu, resapan juga berfungsi menambah pasokan air tanah yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber air bersih bagi kehidupan manusia. Meskipun penting, ternyata banyak orang melupakan fungsi resapan air ini.

Budirama Natakusumah, Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta, mengungkapkan, 70 persen air hujan di Jakarta berubah menjadi limpasan, sedangkan yang meresap ke dalam tanah hanya 30 persen.

Dampaknya, ketika musim hujan tiba terjadi genangan air, yang dalam skala lebih besar menjadi banjir, di Jakarta. Sebaliknya, pada musim kemarau terjadi kekeringan di Jakarta karena kurangnya ketersediaan air tanah. Padahal sebagian masyarakat Jakarta masih membutuhkan air tanah sebagai sumber air bersih.

Berdasarkan data Dinas Pertambangan DKI Jakarta, perusahaan daerah air minum hanya mampu melayani 54 persen dari kebutuhan air bersih penduduk Jakarta. Adapun sisanya, 46 persen, kebutuhan air bersih penduduk Jakarta diperoleh dari air tanah.

Perlindungan terhadap air tanah sebenarnya sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Gubernur Sutiyoso mengeluarkan peraturan gubernur yang mewajibkan setiap warga membangun sumur resapan. Sementara itu, pengembang yang membangun di atas lahan lebih dari 5.000 meter persegi wajib menyediakan 1 persen lahannya untuk membangun kolam resapan. Kewajiban ini menjadi syarat untuk mengurus izin mendirikan bangunan (IMB).

Sayangnya, meski sudah ada peraturan, banyak warga yang masih enggan membangun sumur resapan dengan berbagai alasan. Menurut data BPLHD Provinsi DKI Jakarta, di lima wilayah DKI Jakarta hanya ada 34.259 titik sumur resapan. Padahal jumlah bangunan yang ada di Ibu Kota ini jauh lebih banyak dari jumlah sumur resapan yang ada.

Lahan sempit

Sumur resapan adalah sistem resapan buatan yang dapat menampung air hujan. Melalui sumur resapan ini, air ditampung sementara dan diresapkan ke dalam tanah. Besar-kecilnya volume sumur resapan tergantung dari luas tutupan dari lahan yang dibangun. Untuk rumah kecil, misalnya, dengan luas tutupan 51-99 meter persegi dibutuhkan sumur resapan dengan volume tampungan 6 meter kubik.

Di Jakarta, pembuatan sumur resapan ini dianggap merepotkan warga karena terbatasnya lahan yang mereka miliki. Selain itu biaya pembuatan sumur resapan yang terbuat dari pelat beton, ijuk, dan batu kali dianggap mahal. Untuk membuat satu sumur resapan, biayanya mencapai Rp 900.000 hingga Rp 1 juta per meter kubik. Jadi untuk membangun sumur resapan dengan volume 6 meter kubik dibutuhkan biaya Rp 5,4 juta-Rp 6 juta.

Masyarakat yang kurang mampu sebenarnya bisa membuat sumur resapan secara komunal, tutur Daniel Abbas, Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan BPLHD DKI Jakarta. Meski begitu, Daniel tidak memungkiri bahwa sumur resapan komunal tersebut juga membutuhkan lahan yang cukup luas.

Pori-pori alami

Lahan sempit sebetulnya tidak lagi menjadi persoalan untuk membuat resapan karena sekarang sudah ada teknologi biopori. Biopori adalah lubang buatan yang diisi dengan sampah organik yang berfungsi sebagai resapan.

Sampah organik ini nantinya menjadi makanan organisme yang tinggal di dalam tanah, seperti cacing. Cacing-cacing ini akan membuat lubang-lubang kecil di dalam tanah. Lubang-lubang inilah yang nantinya bisa secara alami meresapkan air hujan ke dalam tanah.

Biopori sebaiknya dibuat pada musim kemarau agar lubang tidak terisi air sebelum siap serta memberi waktu kepada organisme bawah tanah untuk membuat lubang pori.

Pembuatan lubang biopori cukup mudah. Dengan alat bor yang bisa diputar dengan tangan, lubang biopori dibuat dengan kedalaman 100 sentimeter dan diameter 10-30 sentimeter. Sebaiknya perhatikan muka air tanah agar lubang yang dibuat tidak menembus air tanah.

Setelah lubang selesai dibuat, sampah organik seperti daun, sampah dapur atau sisa makanan dimasukkan ke dalam lubang. Agar tidak longsor, mulut lubang bisa diperkuat dengan adukan semen. Mulut lubang juga bisa ditutup dengan saringan kawat untuk menghindari kaki terperosok ke dalam lubang.

Setiap 100 meter persegi bidang kedap air dibutuhkan 28 lubang biopori. Apabila lubang yang dibuat berdiameter 10 sentimeter dengan kedalaman 100 sentimeter, sampah organik yang dapat ditampung pada setiap lubangnya sebanyak 7,8 liter.

Jadi satu lubang baru terisi penuh oleh sampah organik setelah 2-3 hari, kata Budirama. Jika ada 28 lubang yang dibuat, lubang-lubang tersebut baru penuh oleh sampah dalam kurun waktu 56-84 hari. Sampah organik yang masuk ke dalam lubang berubah menjadi kompos dan bisa diambil untuk tanaman. Selain di tanah, biopori dapat dibuat di dasar saluran air hujan, di atas konblok, atau di aspal sekalipun.

Teknologi yang bisa digunakan untuk meresapkan air bisa bermacam-macam. Soal penerapannya, tergantung dari kemauan kita masing-masing. Lusiana Indriasari



Post Date : 06 Januari 2008