|
BANJIR sudah menjadi langganan di kawasan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, yang merupakan salah satu daerah permukiman elite di Ibu Kota. Anehnya, Waduk Pluit yang dulu ditumbuhi eceng gondok, kini 'ditumbuhi' mal dan rumah-rumah hunian ribuan penduduk. Sejak tiga tahun terakhir ini, warga Pluit selalu menderita banjir saat musim hujan mengguyur wilayah Jabotabek. Bahkan, pada 2002 lalu, air mencapai ketinggian satu setengah meter di rumah Agus, warga Pluit Murni, Penjaringan, Jakarta Utara. ''Waktu itu, air sampai ke meteran listrik. Saya benar-benar lelah dengan keadaan ini. Padahal, saya pindah ke Pluit maksudnya untuk menghindari banjir yang selalu melanda rumah saya dulu di Teluk Gong. Tetapi, ternyata, tinggal di sini sama saja. Bahkan lebih parah,'' kata Agus kepada Media beberapa waktu lalu. Menurutnya, penyebab banjir di Pluit akibat tidak berfungsinya waduk Pluit yang ada di dekat permukiman mereka. Kondisi Waduk Pluit sendiri kini tampak memprihatinkan. Sebagian lahan waduk berubah fungsi menjadi Mega Mal Pluit. Kondisi waduk bertambah parah ketika ribuan orang membangun rumah di areal waduk. Saat ini, ada sekitar 8.000 warga yang tinggal di areal Waduk Pluit. Waduk yang seharusnya bermanfaat menampung limpahan air di kawasan Pluit dan areal di sekitarnya kini tidak bisa berfungsi secara optimal. Selain itu, untuk mencari pintu air di Waduk Pluit harus teliti karena sudah tertutupi rumah-rumah penduduk. "Sudah tahu setiap tahun banjir. Kok tidak ada upaya konkret untuk membenarkan kondisi waduk. Padahal, banjir yang ada di Pluit ini bisa diatasi kalau pompa waduk yang rusak diperbaiki," ujar Agus yang sudah 'lelah' dengan bencana banjir di daerahnya. Akibat banjir, Agus mengaku mengalami kerugian puluhan juta rupiah untuk memperbaiki rumahnya yang rusak setiap tahunnya. Belum lagi ongkos lelah karena harus mengungsi dan membersihkan bekas-bekas banjir. Saat ini, Agus mengaku selalu menyiapkan dirinya kalau musim hujan tiba. Salah satu persiapan itu, katanya, dirinya bersama warga Pluit kini membangun dua pompa air baru secara swadaya yang digunakan untuk menyedot air saat banjir datang. ''Bayangkan, sudah tahu di kawasan ini sering banjir, tetapi pemerintah khususnya Dinas Pekerjaan Umum (PU) tidak ada yang datang untuk menempatkan pompa-pompa di lingkungan kami. Akhirnya, warga yang sudah kesal membangun pompa baru untuk mengatasi banjir,'' katanya. Kali Adem Sementara itu, permukiman di bantaran sungai yang ada di Jakarta selalu dituding sebagai salah satu penyebab banjir di Jakarta. Padahal, hidup di tempat seperti itu bukanlah kemauan warga. Mereka mengaku tinggal di bantaran sungai karena tidak bisa mendapatkan lahan yang layak dan rumah untuk warga. Akibatnya, pemerintah lalu mengambil jalan pintas menggusur permukiman waga di bantaran sungai. Contohnya, penggusuran di Kali Adem yang telah mengakibatkan gejolak sosial di daerah itu. Kini, warga Kali Adem yang dulunya bekerja sebagai nelayan, berubah profesi menjadi pemulung-pemulung akibat tidak pernah melaut gara-gara perahu mereka dijadikan tempat tinggal. Bahkan, selama musim hujan ini, para nelayan yang tinggal di perahu selalu kerepotan akibat meluapnya air sungai. Mereka berusaha bertahan hidup meski tinggal di atas perahu dan mengambil risiko masuknya air ke perahu yang kini merupakan tempat tinggal sekaligus rumah mereka. ''Kini, saat hujan datang, air sungai meluap hingga kami harus waspada. Bahkan, warga yang tinggal di tenda-tenda darurat harus menderita gara-gara tendanya diterjang air sungai,'' kata Kajidin saat ditemui di Kali Adem beberapa waktu lalu. Kajidin yang sudah tinggal di bantaran Kali Adem sejak 1977 merasakan suka duka hidup di pinggir kali. Awalnya, ia lahir di daerah Muara Karang pada 1965. Karena wilayah itu digusur pemerintah, Kajidin lalu pindah ke bantaran Kali Adem yang saat itu masih belum banyak penduduknya. Saat itu, Kajidin merasa hidupnya tenang dan damai hingga melahirkan anak keduanya. Sayangnya, gara-gara banjir yang sering melanda Jakarta, tempat tinggalnya di Kali Adem harus digusur untuk pelebaran kali sebagai proyek dari pembangunan banjir kanal barat. ''Pemerintah menganggap daerah kami adalah penyebab banjir. Padahal, itu salah besar karena ketika saya pindah sejak 1977 di Kali Adem, Jakarta tidak pernah banjir. Sejak reklamasi Pantai Indah Kapuk dan Pantai Mutiara, Jakarta menjadi banjir,'' tegas Kajidin. Akibat banjir, ia mengaku disengsarakan dan tidak diperhatikan oleh pemerintah. Buktinya, hingga kini, rencana relokasi ke Indramayu masih belum ada kejelasannya. ''Saya dulu pernah berniat pindah dari bantaran Kali Adem. Tetapi, waktu ada proyek pembuatan rumah nelayan, saya akhirnya enggak dapat jatah rumah gara-gara pemerintah lebih memilih nelayan yang ber-KTP DKI Jakarta. Sudah tiga kali mencoba tetapi enggak berhasil,'' kata Kajidin. Karena itu, Kajidin berharap agar pemerintah yang selama ini melihat dengan sebelah mata agar betul-betul memerhatikan aspirasi dari para nelayan, khususnya yang tinggal di pinggiran kali. ''Kenapa kalau rakyat kecil seperti kami ini rasanya diinjak terus, sedangkan proyek-proyek seperti reklamasi yang menyebabkan banjir di Jakarta, malah enggak ada tegurannya sama sekali,'' katanya. (HA/S-2) Post Date : 11 Februari 2004 |