|
Sebanyak 12 rumah berdiri di tanggul tambak udang dan ikan bandeng di Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Nama permukiman tersebut adalah Salo Buaya. Kampung itu berjarak 2 kilometer dari desa terdekat, Muara Pasir, dan 16 kilometer dari Tanah Grogot, ibu kota Pasir. Pasir yang berpenduduk sekitar 180.000 jiwa adalah kabupaten paling selatan di Kalimantan Timur dan berbatasan dengan Kalimantan Selatan. Sekitar setahun silam Pemerintah Kabupaten Pasir membangun jalan tembus ke Salo Buaya dari Tanah Grogot. Jalan itu berupa tanah sehingga pada musim hujan berlumpur tebal. Rumah warga asal Sulawesi Selatan di permukiman itu hampir seluruh bagiannya terbuat dari kayu. Hanya beberapa bagian, seperti dinding atau atap, yang terbuat dari anyaman daun dan seng. Meski sudah sekitar tujuh tahun berdiri, permukiman itu belum disentuh jaringan listrik dan pipa air minum. Anak-anak di Salo Buaya berusia lima sampai dua belas tahun. Mereka tidak bersekolah seperti sebaya lainnya di Muara Pasir karena orangtua mereka hanya mengandalkan udang dan bandeng, yang pendapatannya hanya cukup untuk hidup. Setiap keluarga memiliki 2,5 hektar tambak dengan panen yang bisa dinikmati setiap enam bulan. Namun, hasil panen pun tidak menentu. Jika tidak ada penyakit, tiap keluarga dapat memanen satu ton bandeng dan satu ton udang. Namun, jika virus putih menyerang, udang dan bandeng banyak yang mati. Hasil panen anjlok sampai separuhnya. Pendapatan mereka hanya cukup untuk membeli makanan, obat-obatan, dan pakaian. Untuk berbelanja, mereka hanya menitip ke satu warga yang pergi ke Tanah Grogot. Di situ hanya ada satu sumur dengan pompa mekanik, yang airnya payau. Air itu hanya bisa untuk mandi dan mencuci. "Untuk minum dan masak, kami pakai air hujan," kata Erna, 20 tahun, seorang warga. Air hujan ditampung dengan wadah seadanya, seperti panci, wajan, atau tempayan. Saat kemarau warga membeli air di Tanah Grogot atau menanti bantuan pengusaha lokal, HM Harbiyang seminggu sekali membawa 400 liter air. Gratis. Warga pernah mencoba minum dan memasak dengan air sumur. Akibatnya, perut mereka mual dan kembung. Sejak saat itu air sumur tidak digunakan. Air hujan dan air kiriman Harbi menjadi andalan hidup. Air hujan dimasak terlebih dulu. Made, kakak Erna, mengatakan, gigi mereka mudah keropos. Dia menduga hal itu karena minum air hujan. "Kebanyakan warga merasa begitu," katanya. Sebelum ada Harbi, warga harus bolak-balik dengan sepeda motor, membeli air di Tanah Grogot. Uang Rp 50.000 habis untuk bensin. Sejak ada Harbi, warga tidak lagi membeli air. Kini mereka perlu solar untuk menghidupkan listrik dan pompa air. Harbi berbaik hati meminjamkan kendaraan plus bahan bakarnya. Lalu, sampai kapan Harbi harus menanggung mereka? (Ambrosius Harto) Post Date : 29 Januari 2007 |