|
Sudah berkali-kali Wisno Rettob (41) menggali sumur untuk mencari air tawar. Namun, selalu saja air payau yang dia temukan. Warga menyebutnya air salobar. Para tetangga Wisno di Pulau Fair, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, pun mulai putus asa. Sulitnya memperoleh air tawar memaksa penduduk di pulau-pulau kecil kawasan Maluku Tenggara mengonsumsi air payau. Mereka mengambil air dari sumur-sumur komunal yang hanya bisa dimanfaatkan saat musim hujan. "Kami sudah bosan menggali sumur, karena yang diperoleh selalu saja air salobar," ujar Wisno. Bila musim kemarau tiba, seperti awal Mei ini, air sumur menjadi sangat asin. Musim berburu air minum pun dimulai. Guna memperoleh air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, penduduk pulau-pulau kecil di Maluku Tenggara harus mendayung sampan melawan arus deras dan gelombang dahsyat. Sebutlah misalnya Pulau Fair, Tayando, Kaimeer, Dullah Laut, Dullah Kei Kecil, Ut, Ubur, Hadranan, dan Rumadan. Tidak semua pulau yang luasnya rata-rata kurang dari 1.500 kilometer persegi itu memiliki sumber air yang layak diminum. "Hidup di pulau kecil ini berat, karena waktu hanya habis untuk mencari air. Kalau tidak sempat menyeberang, satu-satunya pilihan adalah berjalan kaki mengambil air danau di atas bukit," tutur Ebi Renwarin (38), warga Desa Ngadi, Pulau Dullah Utara, Maluku Tenggara. Danau kecil di Ngadi itu jadi gantungan hidup ribuan penduduk di pantai barat Pulau Dullah. Perjuangan mencari air minum acap kali harus dijalani dengan menyabung nyawa. Di pulau-pulau Kur, Tayando, Tam, dan Kaimeer, perburuan air bersih membutuhkan nyali besar. Mereka harus mengarungi lautan lepas, menghadapi gelombang setinggi 2 meter. "Kalau naik speedboat, kita bisa melihat gelombang ada di atas kita. Tetapi, demi air untuk menyambung hidup keluarga, gelombang itu harus dihadapi. Sering sekali perahu warga terbalik dihantam gelombang," ujar Neri (25), juga warga Dullah. Pergulatan hidup penduduk di pulau-pulau kecil itu membuat hati trenyuh. Betapa tidak, di wilayah daratan penggunaan air acap kali justru tidak terperhitungkan. Masyarakat di pulau-pulau kecil itu membuka perspektif baru: betapa tidak enaknya minum air payau. Kenikmatan kopi dan teh menjadi buyar saat rasa garam menyentuh lidah. Namun, bagi mereka yang telah puluhan tahun terpaksa meminum air payau, "kenikmatan" itu tidak berarti lagi. Setetes air payau pun akan dikejar hingga jauh di seberang pulau demi menyambung hidup. Penambangan pasir Di Maluku Tenggara, tanda-tanda bencana itu mulai muncul. Krisis air minum dari tahun ke tahun semakin parah. Pantai-pantai indah mulai rusak oleh penambangan pasir. Di sepanjang pantai barat Pulau Dullah, penambangan pasir sangat marak. Setiap hari puluhan truk diparkir di tepi pantai menunggu para penambang mengisi pasir ke bak-bak truk. Di Desa Ngadi dan Dullah, sisa-sisa penambangan pasir menyisakan lubang-lubang luas sedalam tiga meter. Pasir yang menjadi perisai pulau telah hilang, menyisakan batu karang sebagai batuan dasar penyusun pulau. Tumbuhan bakau di bibir pantai menipis, tak kuat meredam empasan gelombang laut. Pemandangan dramatis tampak di Pantai Serbat, Dullah Utara. Pantai yang semula indah dan menjadi tujuan wisata itu hanya menyisakan hamparan batu karang yang menjorok puluhan meter ke arah laut. Di atas batu karang terkapar batang-batang pohon yang tercerabut dari tempatnya berdiri. "Pulau-pulau di sini mungkin belum akan tenggelam karena ditolong oleh batu karang yang menyusunnya. Tetapi, kerusakan pantai-pantai berpasir terus terjadi. Pantai-pantai indah hilang, dan air payau pun semakin masuk ke daratan," kata Alo Tamnge, warga Tual. Kerusakan alam inilah yang menyebabkan air semakin sulit diperoleh di Tual. Makin banyak sumur gali yang tak bisa dimanfaatkan karena intrusi air laut. Di Tual, Pulau Dullah, Langgur, dan Kei Kecil, beberapa sumur tidak bisa diambil lagi airnya karena sudah terlalu asin. Kerusakan lahan di Kei Kecil terjadi dari tengah daratan. Lahan kritis di pulau ini mencapai 70 persen dari 67.000 hektar total luas lahan kritis di Maluku Tenggara. Jika dibandingkan dengan luas daratan Kei Kecil yang hanya 127.000 hektar, luas lahan kritis mencapai 36 persen. Kondisi ini mengancam sumber air minum terbesar di Maluku Tenggara, yaitu Sungai Evu. Sumber air dengan debit 2.000 liter per detik yang dimanfaatkan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) ini bisa saja kering karena lingkungan pendukungnya rusak. Kini, gerakan menanam pohon di lahan kritis mulai digalakkan. Warga difasilitasi menanam tanaman buah-buahan. Waktu akan menjawab apakah gerakan itu bisa menyelamatkan sumber kehidupan di wilayah tersebut. Persoalan air bersih itu pulalah yang mestinya menjadi prioritas bagi para pejabat di daerah berpulau-pulau kecil itu. Bukan malah sibuk memikirkan pemekaran... AGUNG SETYAHADI Post Date : 10 Mei 2007 |