|
Nusa Dua, Kompas - Petani di dunia menuntut adanya kedaulatan pangan. Dengan demikian, masing-masing negara bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dan tidak perlu bergantung pada negara lain. Mereka menolak dominasi industri pertanian skala besar yang dinilai menjadi salah satu penyebab besarnya emisi karbon di dunia. "Mari kembali pada kearifan lokal dan kedaulatan pangan hingga di level keluarga. Hilangkan ketergantungan penyediaan pangan pada pihak lain dan ciptakan pertanian berkelanjutan," kata Henry Saragih, Koordinator Umum La Via Campesina atau Gerakan Petani Internasional di Climate, di Civil Society Forum (CSF) Nusa Dua, Senin (10/12). Caranya? Bisa dengan mengembangkan pertanian organik dan tidak lagi menggunakan pupuk dan pestisida. Selama ini industri pertanian berskala besar, menurut Henry, menjadi salah satu penyebab utama penambahan emisi di dunia, yaitu melalui pengiriman bahan makanan lintas negara, peningkatan produksi dengan mekanisasi, intensifikasi, penggunaan bahan kimia, dan pertanian monokultur. Industri pertanian berskala besar juga banyak menghancurkan keragaman hayati yang selama ini bertugas menyerap karbon. "Pengiriman bahan makanan lintas negara menyebabkan tingkat emisi di dunia akan makin besar. Untuk itu, selain dibutuhkan perubahan pola produksi yang mandiri, juga dibutuhkan perubahan pola konsumsi. Makanlah produk-produk lokal yang diproduksi dan dikirim dengan emisi rendah," kata Henry. Pengalaman negara lain Dalam forum itu, sejumlah perwakilan petani dari berbagai belahan dunia menyampaikan keluhan yang sama mengenai perusakan yang dilakukan oleh industri pertanian berskala besar. "Perusahaan pertanian berskala besar hancurkan petani-petani kecil tradisional di negara kami. Ini membuat masyarakat yang dulu petani kini tergantung pada pihak lain untuk memenuhi kebutuhan pangannya," kata Yoon Geum-soon dari International Relation of the Korean Peasants Women Association (KWPA). "Industri-industri pertanian datang ke Afrika mengambil sumber daya lahan dan alam kami. Alam berubah, hutan juga rusak. Mereka dapat untung banyak, tetapi tetap membiarkan masyarakat kami terbelakang dan miskin," ujar Joao Palate, Vice President of The Mozambique Farmers Union (UNAC). Adapun Celso Barbosa, State Coordinator of Parana State, Brazil Landless Moement (MST) menyampaikan kerusakan hutan Amazon akibat pembukaan hutan oleh industri pertanian kedelai dan tebu. "Perusahaan-perusahaan itu hanya terobsesi mencari keuntungan besar dari bisnis bahan bakar nabati, tetapi melupakan dampak yang terjadi dari perusakan hutan Amazon. Salah satu kontributor pemanasan global adalah mereka ini, tetapi sekarang mereka mau tampil sebagai pahlawan dengan menawarkan bahan bakar nonfosil," kata dia. "Kita membutuhkan planet lain untuk memproduksi bahan bakar nabati karena dunia kita tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan energi dengan pola konsumsi yang sama seperti sekarang. Harus ada kesadaran bersama untuk mengambil sedikit dari alam. Terapkan pertanian organik yang dimiliki petani-petani tradisional," kata Olav Randen, perwakilan dari the Norwegian farmers Union (NBS). (AIK) Post Date : 11 Desember 2007 |