Pengolahan air bersih secara mandiri mulai dilakukan perusahaan di Jakarta. Mereka sadar, suplai air di Jakarta belum seimbang dengan kebutuhan. Oleh karena itu, kemandirian dalam mengolah air menjadi tantangan untuk menjaga agar bisnis tetap berlanjut tanpa harus terganggu lantaran kekurangan air bersih.
Gerai-gerai 7-Eleven di Jakarta, misalnya, juga menggunakan air bersih yang mereka olah sendiri. Air bersih ini digunakan untuk berbagai macam kebutuhan di tiap toko.
Manajer Humas 7-Eleven Indonesia Neneng Sri Mulyati, Rabu (14/9), mengatakan, air bersih digunakan untuk semua kebutuhan, termasuk untuk minuman yang dijual di setiap toko. Kebutuhan air bersih untuk minum sangat besar karena jaringan toko ini juga mengandalkan berbagai jenis minuman, mulai dari teh, kopi, hingga cokelat, sebagai ”jualan” gerai ini.
Tidak hanya itu, ada juga kebutuhan air bersih untuk toilet dan cuci tangan. Fasilitas ini juga menjadi daya tarik pengunjung yang ingin menghabiskan waktu nongkrong di gerai 7-Eleven yang jumlahnya sudah lebih dari 35 unit di seluruh Jakarta.
Pengolahan air bersih secara mandiri juga dilakukan Taman Impian Jaya Ancol. Dengan produksi mandiri, kawasan ini tidak bergantung pada suplai air dari pihak luar dan tetap berkelimpahan air kendati pada musim kering atau ada kerusakan sistem jaringan air PDAM.
Arsitektur lanskap Nirwono Joga mengatakan, langkah pihak swasta mengolah dan memproduksi air bersih sendiri merupakan hal baik untuk mengurangi konsumsi air tanah. Sementara mereka yang mengandalkan air perpipaan yang disalurkan oleh PDAM sering tidak maksimal.
Dia memperkirakan tidak sampai 5 persen perumahan, pertokoan, dan perkantoran di Jabodetabek yang mengolah sendiri air mereka. Air baku didapat dari air limbah atau air laut. Sebagian perusahaan mengolah air menjadi air bersih yang digunakan untuk kakus atau air untuk menyiram tanaman. Ada pula perusahaan yang sudah bisa mengolah air menjadi air minum.
Dengan proses mandiri ini, perusahaan bisa menghemat sampai 30 persen dari kebutuhan air mereka. Bahkan, ada beberapa perusahaan yang sudah memproduksi semua air bersih secara mandiri sama sekali.
Kondisi ini membuat perusahaan tidak perlu pusing manakala pasokan air dari pihak luar tersendat. Pada musim kemarau, persoalan air juga bisa teratasi.
Mendesak
Kemandirian dalam pengelolaan air ini mendesak dilakukan karena penggunaan air tanah di Jabodetabek masih tinggi, yakni mencapai 65 persen. Air tanah masih banyak digunakan karena jaringan air perpipaan belum optimal, terutama di luar Jakarta. Apabila ada dorongan untuk mengolah sendiri air bersih, penggunaan air tanah bisa ditekan sampai di bawah 50 persen.
”Selama ini, pengolahan air bersih masih menjadi inisiatif dan kesadaran masing-masing pihak swasta. Belum ada stimulan pemerintah untuk membuat gerakan ini menjadi langkah masif,” kata Nirwono.
Nirwono berpendapat, dorongan mengolah air bersih secara mandiri tidak bisa dilakukan pemerintah dengan cara memberi imbauan semata. ”Dibutuhkan insentif untuk menaikkan minat membuat instalasi pengolahan air bersih,” ujarnya.
Insentif bisa dilakukan antara lain dengan cara mengurangi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau pajak-pajak lain. Bila ada daya tarik, bukan tidak mungkin pihak swasta akan menginvestasikan uang untuk membangun instalasi pengolahan air bersih.
Rencana Kementerian Lingkungan Hidup untuk memberikan insentif bagi pihak yang akan mengolah air laut menjadi air bersih juga patut disebarluaskan.
Sementara dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2011-2030, sistem dan jaringan air bersih masih diprioritaskan pada sistem perpipaan.
Pemanfaatan dan pengembangan sumber air bersih alternatif juga tertulis dalam RTRW. Alternatif ini berupa desalinasi atau penyulingan air laut dan daur ulang air kotor.
Sumber air bersih yang disampaikan dalam RTRW antara lain berupa rencana pembangunan waduk di bagian selatan Jakarta serta sumber air baku dari Bendungan Karian dan Waduk Jatiluhur. (ART)
Post Date : 15 September 2011
|