Mereka Kian Tersisih dari Peradaban Citarum

Sumber:Kompas - 30 Maret 2010
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

Euis Komariah (21) terlihat agak malas mengayunkan kakinya untuk turun dari angkutan kota jurusan Dayeuhkolot-Mohammad Toha. Sepasang bola mata perempuan buruh PT Leading Garment di Jalan Mohammad Toha, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu menatap sejenak genangan air di depannya.

Namun, akhirnya ia paksakan kakinya melangkah menembus jalan yang tergenang air akibat banjir di daerah tersebut. Selasa (23/3) sore itu, Euis tak sendiri. Bersama buruh lain mereka berbondong-bondong berjibaku menerobos air sedalam 0,5 meter. Sebagian buruh perempuan melinting celananya, sebagian lainnya menjaga keseimbangan tubuh mereka supaya tidak terperosok lubang jalan yang tertutup genangan air. Apa daya, alam tak bisa dilawan.

”Ya, setiap hari begini. Harus bawa baju ganti,” ujar Euis sambil memperlihatkan baju yang disimpannya di kantong plastik.

Bagi Euis, membawa baju ganti tak sekadar merepotkan, tetapi juga merugikan. Sama halnya dengan Yuyun Yuniwati (24), buruh PT Daliatext Kusuma. Hujan mengguyur hampir setiap hari, pakaiannya yang dijemur pun susah kering. Akhirnya, ia terpaksa membeli dua setel pakaian untuk mengantisipasi jika bajunya basah. Ia merogoh duit Rp 100.000.

Uang Rp 100.000 bukan jumlah sedikit bagi buruh berupah Rp 1,05 juta sebulan itu. Apalagi kini ia harus menyisihkan sebagian upahnya untuk membeli perabotan rumah yang rusak tergenang air akibat rumah yang ia tempati kebanjiran.

Penuturan Iyan Sopian (35), buruh bagian safety environmental PT Daliatext Kusuma, saat banjir tiba ia harus menempuh jarak hampir dua kali lipat dari rumahnya di Desa Ciheulang, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dengan sepeda motor. Jarak normal yang biasanya ditempuh sepanjang 12 kilometer berlipat menjadi 25 kilometer lantaran harus menghindari daerah yang tergenang air. Artinya, konsumsi bensinnya pun lebih boros. Jika biasanya bensin satu liter seharga Rp 4.500 cukup untuk satu kali pergi-pulang kantor, kini ia harus menjatah dua kali lipatnya.

Alternatif lain, Iyan bisa menitipkan sepeda motor di rumah saudaranya. Namun, lebih merepotkan karena ia harus jalan kaki diselingi tiga kali naik perahu. Dengan ongkos sekali naik perahu Rp 2.500, berarti ia mesti menambah pengeluaran Rp 7.500 sehari hanya untuk transportasi.

Pengeluaran meningkat

Banjir membuat pengeluaran harian para buruh pabrik melonjak dua hingga tiga kali lipat. Mulai dari membeli tambahan bahan bakar minyak (BBM) karena jalan memutar, untuk naik perahu, hingga membeli baju kerja baru. Selain itu, banjir mengakibatkan waktu tempuh menuju pabrik menjadi lebih lama. Artinya, buruh harus bangun pagi lebih awal.

Dicontohkan Ipung (34), buruh bagian finishing PT Metro Garmin, uang operasional hariannya membengkak. ”Normalnya diberi Rp 15.000 untuk keperluan sehari plus rokok oleh istri sudah cukup. Sekarang, dalam sehari saya bisa habis Rp 30.000. Soalnya, harga makan di warung ikutan mahal dengan alasan banjir,” kata Ipung saat ditemui di sebuah bengkel motor di Jalan Kopo, Bandung.

Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bandung, dari sekitar 200 pabrik di kawasan Bandung Selatan, 33 di antaranya yang aktivitas ekonominya benar-benar lumpuh. Buruh yang ditampung di 33 perusahaan ini sejumlah 9.555 orang.

Roy Jinto, Ketua Serikat Pekerja Tekstil, Sepatu, dan Kulit dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), mengatakan, buruh menghadapi dilema. Bila tidak bekerja, mereka kehilangan uang makan Rp 2.500-Rp 5.000 per hari dan transportasi sebesar Rp 2.000-Rp 5.000 per hari.

Kian kelimpungan

Tak hanya buruh yang merintih akibat banjir menahun di Bandung Selatan. Pengusaha kecil yang mengandalkan aktivitas kawasan industri pun menjerit. Iing Inggarani (35), pengusaha jasa katering ”Larisa” di Desa Citereup, Kecamatan Dayeuhkolot, mengaku, sejak pertengahan Februari, terpaksa menutup usaha kateringnya karena tidak ada pesanan lagi. Padahal, saat normal, omzetnya bisa mencapai Rp 7 juta per bulan.

Ada enam pabrik di kawasan Dayeuhkolot yang biasa memesan katering ke tempat Iing. Satu pabrik rata-rata memesan 100 dos. Sejak banjir melanda, para pengusaha katering seperti Iing kesulitan mencari bahan baku ke pasar karena jalanan banjir. Ditambah lagi pabrik-pabrik sepi karena banyak buruh diliburkan perusahaan.

Renovasi rumah menjadi hal yang paling memberatkan buruh dan warga korban banjir. Usep Zubaidin (39), warga RW 8, Kampung Kulalet, Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah, bingung mencari biaya renovasi rumahnya yang terendam akibat banjir kali ini.

Dari pengalaman banjir besar tahun 2007, ia menghabiskan sekitar Rp 3 juta untuk membeli batu bata, semen, kapur, serta kayu untuk daun pintu dan jendela. Belum lagi perabotan lain yang rusak akibat banjir.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat mencatat, hingga akhir Februari lalu, bencana banjir dan longsor menyebabkan kerugian hingga Rp 34,76 miliar. Nilai itu diperoleh berdasarkan jumlah kerusakan rumah, sekolah, dan areal pertanian yang dilaporkan tiap kabupaten/kota. Berdasarkan data BPBD Jabar, setidaknya 1.119 rumah hancur, 412 rusak berat, 459 rusak sedang, dan 1.808 rusak ringan. Adapun 15 gedung sekolah rusak berat.

Puluhan industri besar memang merugi hingga puluhan miliar. Seiring dengan itu, ratusan ribu rakyat yang menggantungkan nasib dari aktivitas ekonomi di kawasan Bandung Selatan pun kian kelimpungan, getir memikirkan hari esok.

Haruskah mereka tersisih dari peradaban ekonomi di kawasan Citarum yang telah ”menafkahi” mereka puluhan tahun lamanya? Entahlah, tetapi mendung masih terus kerap menggantung di langit Dayeuhkolot! (Gregorius Magnus Finesso/Bayu Dwi Radius)



Post Date : 30 Maret 2010