|
SEBAGIAN pemerintah daerah mengklaim telah menerapkan sistem sanitary landfill dalam mengelola sampah. Kenyataannya, sistem yang mereka gunakan tak lebih dari menumpuk sampah. Sebagian lagi mengklaim, mereka menggunakan incenerator untuk memusnahkan sampah. Kenyataannya, yang mereka gunakan itu sekadar tungku pembakaran. "Tidak ada satu pun tempat pembuangan sampah akhir di Indonesia, termasuk TPA Bantar Gebang, Bekasi, yang menerapkan sistem sanitary landfill. Yang mereka lakukan sekadar menumpuk sampah dan menimbunnya ke dalam tanah," tutur Koordinator Peneliti dari Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dr Eko Sugiarto, Kamis (8/1). Sistem sanitary landfill tentunya harus memenuhi desain teknis tertentu sehingga sampah yang dimasukkan ke tanah tidak mencemarkan tanah dan air tanah. Di sejumlah negara maju, sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA), sampah dipilah terlebih dahulu antara sampah organik dan non-organik, sampah yang mudah terdegradasi dan yang sulit. Sampah seperti pecahan kaca, logam, dan plastik dibakar dulu hingga jadi abu sebelum ditimbun. Sampah yang mudah terdegradasi, seperti sisa makanan, digiling terlebih dulu sebelum ditimbun. Dasar TPA dilapisi bahan kedap air dan diberi saluran untuk cairan hasil dari pembusukan sampah (lindi). Di dekat TPA harus ada sumur kontrol untuk mengontrol apakah air tanah di sekitar TPA sudah tercemar. TPA di Indonesia, termasuk TPA Bantar Gebang, sesungguhnya tidak menerapkan sanitary landfill seperti yang sering didengung-dengungkan. Paling banter TPA itu menggunakan sistem open dumping, yakni sampah ditumpuk bergunung-gunung. Jika sistem ini dilengkapi lapisan dasar kedap air dan saluran untuk lindi masih dianggap mendingan. Namun, kalau tidak-inilah yang celaka-sampah akan mencemari tanah dan air tanah secara langsung. Sialnya lagi, sistem open dumping yang digunakan ternyata masih disertai dengan pembakaran sampah. Padahal, pembakaran sampah itu "haram hukumnya" karena pembakaran sampah hanya menghasilkan oksidan berbahaya bagi kesehatan, apalagi kalau sampah yang dibakar adalah sampah non-organik, seperti plastik, kaca, atau logam. Jika itu dilakukan sama saja dengan memindahkan sampah di permukaan tanah ke udara dalam bentuk oksidan. Di sisi lain, sebagian pemerintah daerah dan perusahaan yang menghasilkan banyak sampah yang sulit diurai, seperti rumah sakit, mengklaim bahwa mereka menghancurkan sampah dengan incenerator, yakni instalasi pembakaran sampah yang terkontrol dengan suhu minimal 1.000 derajat Celsius. Segala logam, pecahan kaca, dan plastik niscaya menjadi abu putih jika dibakar di dalam tempat pembakaran semacam ini. Namun, klaim itu lebih banyak bohongnya. Pasalnya, kata Eko, hampir semua instalasi pembakaran sampah yang diklaim sebagai incenerator ternyata tidak lebih sekadar tungku pembakaran. Tungku itu kebanyakan hanya bersuhu 800 derajat dan tidak mampu menghancurkan pecahan kaca atau logam. Jika sampah yang telah dibakar itu dibuang ke TPA, tak ada bedanya jika sampah itu dibuang utuh. Sistem sanitary landfill atau incenerator itu harganya sangat mahal. Sistem pertama membutuhkan tanah luas dan biaya perawatan yang mahal. Setali tiga uang, instalasi incenerator standar paling murah sekitar Rp 2 miliar. Pemiliknya juga harus mengeluarkan uang Rp 250 jutaan per bulan untuk biaya pengelolaan sampah, bahan bakar, dan perawatan. IDEALNYA pengelolaan sampah harus menyeluruh dari hulu hingga akhir. Untuk menerapkan sistem itu, perlu ada penataan pola konsumsi dan produksi. Namun, kelompok masyarakat menengah, selama 10 tahun terakhir, mengarah pada over consumtion, mulai dari air, energi, dan lain-lain. "Dampaknya, sampah yang dihasilkan semakin banyak, terutama kemasan seperti botol dan plastik," kata Ketua PSLH UGM Bakti Setiawan PhD. Berdasarkan data PSLH, sampah yang dihasilkan rumah tangga di perkotaan saat ini 35 persen berupa kemasan plastik dan kaleng, 27 persen sampah yang tidak mudah terdegradasi seperti logam dan pecahan kaca, 15 persen sampah yang bisa terdegradasi, 8 persen sisa bahan makanan, dan 14 persen sampah yang sangat mudah terdegradasi sehingga bisa langsung dibuang ke halaman rumah. Kecenderungan over consumtion akan meningkatkan jenis sampah kemasan dan tidak terdegradasi. Sampah itu seharusnya dipilah-pilah terlebih dahulu sebelum dibuang. Kemasan seperti logam dan plastik masih bisa digunakan kembali (reuse), diproduksi kembali (reduce), atau didaur ulang (recycle). Sampah lainnya yang bisa diurai bisa diubah menjadi kompos. Dari komposisi sampah yang dihasilkan rumah tangga itu sebenarnya 37 persen bisa diubah menjadi kompos. Sebagai perbandingan, di Singapura sampah yang bisa diubah menjadi kompos hanya 20 persen. Bakti menyarankan setiap rumah tangga diwajibkan membuat kompos dari sampahnya. Dengan cara itu, masyarakat di sebuah RT di Surabaya misalnya, bisa menekan jumlah sampah yang dibuang ke TPA hingga tinggal 10 persen dalam sehari. (Budi Suwarna) Post Date : 10 Januari 2004 |