|
Gubernur Sutiyoso belum menyatakan wabah diare di Jakarta sebagai kejadian luar biasa, meskipun saat ini sudah ratusan orang dirawat akibat diare. Air mata duka orangtua pun terus mengalir pada hari-hari ini karena kematian anak-anak yang mereka kasihi. Asep Supardi, bayi berusia 11 bulan itu, terbaring lemas tak bersuara di ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Koja, Jakarta Utara, Kamis (15/2) siang. Satu tabung oksigen besar diletakkan di samping tempat tidurnya dengan selang distribusi bermuara ke dua lubang hidung. Dua botol cairan infus pun dialirkan ke tubuhnya melalui pergelangan kaki kanan. Anak pasangan suami-istri, Ade Surayana (28) dan Ningsih (25), warga Jalan Mahoni, Tugu Utara, Jakarta Utara, itu dalam kondisi kritis akibat diare. Ayah-ibunya, dan Burhan, pamannya, serta beberapa paramedis mengawasi dengan mata berkaca-kaca di sekitar tempat tidur Asep. Seorang paramedis menyibakkan baju Asep hingga ke leher. Popok dibiarkan tetap di selangkangannya. Tidak terlihat tanda-tanda bahwa bayi penderita diare ini sedang bernapas. Ia pun diberi alat bantu pernapasan. Dua dokter datang memberi pertolongan. Dadanya pun ditekan-tekan. Kelopak mata Asep pun diamati. Dokter tidak mengeluarkan sepata kata pun. Suasana di sekitarnya menjadi hening. Wajah ayah ibunya, pamannya, dan keluarga dekat di sekitarnya tampak sembab. Mereka berdoa. Titik kritis itu berlangsung sekitar 20 menit, akhirnya terlewati setelah nadinya berdenyut lagi sekitar pukul 16.20. Tentu Asep takkan pernah tahu apa yang terjadi pada dirinya. Sekitar pukul 19.00, dia akhirnya dinyatakan telah pergi untuk selamanya. Ade dan Ningsih hanya bisa mengenang, betapa mereka telah berjuang dengan susah payah untuk menyelamatkan anak bungsu dari tiga bersaudara itu. Mengungsi Dua pekan lalu rumah mereka terendam banjir setengah meter dan mereka pun mengungsi. Setelah banjir surut, akibat kesulitan air bersih, dan sanitasi yang buruk di lingkungannya, Asep terkena diare. Karena tidak mempunyai biaya, Asep hanya berobat ke bidan. Setelah kesehatannya sudah mulai membaik, dan keceriannya muncul, diare muncul lagi dan kondisi Asep semakin parah. Baru pada Rabu malam sekitar pukul 19.00, Ade dan Ningsih mendengar adanya pengobatan gratis di RSUD Koja. Dengan meminjam sepeda motor Burhan, suami istri itu pun langsung melarikan Asep ke rumah sakit. Sayang, usaha itu tinggal menjadi kenangan pahit di hati mereka. Perjuangan seperti itu juga dilakukan para orangtua lainnya, yang saat ini tengah menunggui perawatan anaknya di RSUD Koja. Kepedihan akibat ketidakmampuan atau kemiskinan juga dialami Tarsinah (21). Anak satu-satunya Kiki Ayu (4) meninggal di RSUD Koja, Kamis. Sebelum kematian Kiki, Tarsinah berjuang mengobati anaknya sesuai kemampuannya. Dia sempat bolak-balik ke bidan, tetapi anaknya tidak kunjung sembuh. Sebelumnya dia juga sempat mengobati Kiki ke sebuah klinik sampai sembuh. Ketika kambuh lagi, beberapa hari lalu, Kiki pun kembali ke bidan. Sayang kondisinya semakin parah, hingga akhirnya dilarikan ke RSUD Koja setelah mendengar ada pengobatan gratis bagi korban banjir. Naik becak Untuk mencapai RSUD Koja, dia pun nekat menyewah becak sebesar Rp 70.000 dari rumahnya, Rabu malam pukul 23.00. Jarak rumahnya di Kalibaru Barat, RT 08 RW 06, Cilincing, ke RSUD Koja dengan RSUD Koja, sekitar 3,5 kilometer. Suaminya seorang nelayan, Mulyadi (33), sejak akhir Desember pergi melaut untuk jangka tiga bulan dan baru kembali awal Maret nanti. Ditemui di rumahnya, Tarsinah hanya menangis ingat anaknya itu. Ia tidak tahu harus bercerita apa, jika pada awal Maret nanti suaminya Mulyadi pulang dari laut. Maklum, saat-saat suaminya hidup bersama anak semata wayangnya dan istrinya itu cukup singkat. Lebih banyak waktunya dihabiskan di laut. "Saya bingung, bagaimana menjelaskan semuanya ini kepada suamiku kelak," kata Tarsinah yang selama ini tinggal di rumah kontrakan yang sempit, berukuran 3 meter x 3 meter, di lingkungan kumuh Kalibaru. Pascal S Bin Saju Post Date : 16 Februari 2007 |