|
SISA-sisa kembang setaman, minyak wangi cap Putri Duyung, dan sebatang rokok tergolek di atas bak penampung sumber air Bebeng yang terletak di tengah hutan Merapi. Di tengah hutan yang sunyi, benda-benda itu dengan cepat membawa pikiran-pikiran mistis tentang Merapi. "Ya, memang sering kali masyarakat membakar kembang dan kemenyan di sumber air itu. Ini bukan mistik, tetapi memberi makan penunggu air itu. Itu nyata, dan dari kenyataan itu masyarakat seputar Merapi bisa mendapatkan air," papar Mbah Mardjo Tiyono (72), sesepuh Dusun Kaliadem, Kepuharjo, Cangkringan. Ungkapan Mbah Mardjo ini barangkali yang terbaca oleh vulkanolog Elisabeth D Prasetyo sebagai sebuah pergumulan batin. Dalam bukunya berjudul Lahirnya Kembali Ringin Putih, Elisabeth menyatakan, mitos yang mistis tidak bisa ditangkap dengan akal. Hanya dengan impian manusia dapat memahami kekayaan mitos itu. Impian itu adalah mata batin. Mata batin Mbah Mardjo bisa terbaca jelas ketika dia bertutur tentang sumber air Bebeng. "Sumber air Bebeng itu ada dua, yang di atas namanya Umbul Lanang dan sekitar 50 meter di bawahnya namanya Umbul Wadon," ungkap kakek tua yang masih sering mendaki Gunung Merapi untuk menolong orang hilang. Di Kali Kuning juga ada Umbul Lanang dan Umbul Wadon? "Itu anaknya," tukas Mardjo cepat. Umbul Lanang dan Umbul Wadon yang berada di Kali Kuning letaknya sekitar tiga kilometer di bawah sumber air Bebeng. Bagi Mbah Mardjo, air itu punya "nyawa". Pemikiran semacam itu pula yang mendorong masyarakat wilayah Merapi selalu mempersonifikasikan sumber air. Sumber air sebagai sumber kehidupan dipandang sebagai figur yang menyertai kehidupan mereka. Dan karena itu masyarakat memberlakukan sumber air dengan penuh penghormatan. "Sampeyan tidak percaya kalau sumber air Bebeng itu makhluk? Kisahnya banyak bahwa dia itu punya nyawa," ujar Mbah Mardjo. Satu contoh diungkapkan Mardjo, jika sumber air Bebeng sedang marah dia akan kering atau macet tak mau mengalir. Mengapa marah, menurut Mbah Mardjo banyak sebab. "Pernah ada seorang warga mencuci daging kambing langsung menceburkan ke aliran sumber air. Tidak sampai satu hari, mendadak sumber itu macet. Kalau sudah begitu harus dijawab. Untung di sini ada warga namanya Hardjo Sipon yang sepertinya sudah menjadi anak dari Umbul Bebeng. Dialah yang kemudian datang ke Umbul Bebeng berdoa dengan perlengkapan kembang setaman, kemenyan. Kalau Harjo Sipon itu sudah ke sana, sehari kemudian air mengalir." Mardjo juga bercerita, perempuan yang sedang mengalami datang bulan dilarang mencuci di aliran sumber air Bebeng. "Kalau itu terjadi, maka malapetaka bagi desa dan bagi orang yang sedang mengalami datang bulan akan celaka juga," tuturnya. WARGA Merapi hidup dari mitos dan itu sangat kuat mereka percaya. Mitos-mitos itu amat berkait dengan penyelamatan lingkungan dan larangan-larangan untuk menjaga keseimbangan hidup. Menjaga lingkungan kehidupan melalui mitos itulah yang dilakukan masyarakat Merapi. Karena itu, masyarakat sangat peka terhadap sasmita (pertanda) alam dan juga batin. Merapi dianggap memiliki nyawa. Seperti diungkapkan Mbah Maridjan yang tinggal di Kinahrejo, Umbulharjo. Kalau Merapi meletus atau sedang aktif, Mbah Maridjan atau warga masyarakat pasti diberi sasmita. Juru kunci Merapi ini mengaku sering kali mendapatkan wisik berkaitan dengan Gunung Merapi. Seperti ketika Merapi meletus tahun 1994, Mbah Maridjan dalam mimpinya didatangi oleh almarhum kakeknya dan beberapa lelaki tampan berkulit kuning. Kedatangannya memberi tahu: "Aku punya uang silakan dibagi". Karena setiap kali ada sasmita jika Merapi meletus, Mbah Maridjan memberanikan diri untuk menulis surat kepada Sultan Hamengku Buwono X (Gubernur DI Yogyakarta) yang intinya minta agar warga tidak dipindahkan hanya gara-gara bahaya Merapi. "Warga adalah penjaga Merapi, jangan sampai pindah." (K10/TOP) Post Date : 07 Juni 2004 |