Sampah yang selama ini dianggap sebelah mata serta selalu diasosiasikan dengan kekumuhan dan penyakit ternyata bisa menghasilkan keuntungan ekonomis. Bahkan harga produk olahan dari sampah bisa dijual hingga ke luar negeri dan menghasilkan keuntungan jutaan rupiah.
Keberhasilan Djuariah Djadjang (50), warga RW 20 Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung, adalah contohnya. Sejak tahun 2007 ia mengolah sampah plastik menjadi aneka produk, mulai dari tas, sajadah, tempat pensil, dompet telepon seluler, celemek, tempat sepatu, hingga tempat jas dan payung.
Sampah plastik yang digunakan bisa berasal dari kemasan mi instan, kopi, makanan ringan, sabun, atau minyak goreng. Di lingkungannya, Djuariah bekerja dengan 43 kader.
Harga produk Djuariah bervariasi, Rp 10.000-Rp 150.000, tergantung jenis barang dan tingkat kesulitan pembuatan. Tempat pensil dihargai Rp 10.000, sedangkan sajadah yang pembuatannya memerlukan waktu tiga minggu dijual Rp 100.000-Rp 150.000.
Produk daur ulang Djuariah dipasarkan melalui pameran atau pesanan langsung dari konsumen. "Bersama rekan-rekan kader yang lain, sebulan ini (Mei-Juni) saya meraih keuntungan sekitar Rp 1 juta. Rata-rata setiap kader membawa pulang keuntungan Rp 100.000-Rp 200.000 sekali pameran," katanya.
Produk Djuariah dan kadernya juga diminati wisatawan asing. Tercatat ada sejumlah pesanan dari warga Malaysia, Jerman, Selandia Baru, dan Afrika. Seorang warga Malaysia bahkan sampai datang kepada Djuariah untuk kursus privat cara mengolah sampah plastik menjadi aneka produk. Kompos
Plastik yang merupakan jenis sampah anorganik bisa menghasilkan nilai ekonomis bagi warga. Sampah organik dari sayuran, buah, dan makanan pun sebenarnya memiliki potensi yang lebih besar, yakni dengan diolah menjadi kompos.
Namun, sejumlah tempat pembuatan kompos ternyata gagal memasarkan produk mereka, seperti tampak di gudang pembuatan kompos Pasar Caringin. Di tempat itu onggokan kompos dibiarkan begitu saja tanpa kemasan yang layak. "Sudah lebih dari dua tahun produksi kompos berhenti karena tidak ada pembeli dan tidak bisa membayar pegawai," kata Yaya, pengurus gudang.
Anggota Dewan Pakar pada Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengatakan, kompos bisa menyerap sekitar 60 persen sampah organik di Bandung atau setara dengan 1.200 ton sampah organik per hari.
Dengan perhitungan sampah organik Pasar Caringin 200 meter kubik per hari, sampah sebanyak itu bisa diolah menjadi 6.000 kilogram kompos. "Bila per kilogram kompos dijual minimal Rp 500, dalam sehari bisa meraih Rp 3 juta. Total dalam sebulan pengelola pasar meraih Rp 90 juta hanya dari sampah," katanya.
Keuntungan dari kompos itu pun bersih karena tidak dikurangi biaya bahan produksi. Sampah diperoleh gratis dari sisa-sisa perdagangan di pasar.
Sobirin berpendapat, potensi ekonomis kompos bisa optimal dengan dukungan pemerintah. Pemerintah seharusnya membuka akses pemasaran kompos kepada pemilik perkebunan atau pertanian.
"Selama ini pemerintah kurang peduli pada pemasaran kompos. Keuntungan produsen akhirnya nol dan sampah organik hanya memperbesar beban lingkungan di Bandung," ujarnya. Rini Kustiasih
Post Date : 13 Juni 2009
|