|
Sebuah fasilitas mirip kilang berdiri kokoh di tepian pantai kawasan Ulee Lhe, Banda Aceh. Satu tiangnya yang menjulang tinggi, makin mempertegas kehadiran bangunan itu di antara puing-puing sisa bencana tsunami yang masih ada. Tepat pada salah satu sudut tiang, terlihat sebuah gambar bulan sabit merah besar berwarna merah dengan tulisan Kuwait Red Crescent Society (KRCS). Komplek fasilitas itu, memang dikelola oleh Masyarakat Bulan Sabit Merah Kuwait (KRCS). Seperti banyak organisasi humanitarian lainnya, KRCS sudah sejak lama berada di Aceh dalam upaya membantu para korban bencana. Dan fasilitas itu pun bukan fasilitas biasa, melainkan tempat desinilasi (penyulingan) air laut, sumbangan masyarakat Kuwait. Menurut penjelasan Ketua KRCS, Mr Barjes al Barjes, penyulingan air laut ini, merupakan satu-satunya di Aceh dan sudah beroperasi secara penuh sejak beberapa bulan lalu. Sebelumnya, memang ada proyek penyulingan air bantuan luar negeri, tapi bukan air laut namun dari air sungai. Air bersih yang dihasilkan diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat pesisir di kawasan itu. ''Dengan proyek ini, semoga warga yang dulu kesulitan mencari air bersih, kini tidak perlu khawatir lagi,'' tandasnya ketika bersama Dubes Kuwait, Mohammad Fadel al Khalaf, meninjau berbagai proyek bantuan Kuwait di Banda Aceh, pekan lalu. Proyek ini diresmikan oleh Ketua DPR, RI Agung Laksono bersama Dubes Kuwait pada tanggal 27 Juli lalu. Setiap hari, proyek itu mampu menghasilkan air bersih sebesar 300 meter kubik. Jumlah debit air sebanyak itu, mampu memenuhi kebutuhan sekitar 10 ribu warga Banda Aceh dan sekitarnya. Air bersih didistribusikan ke beberapa tempat penampungan dengan menggunakan empat unit truk tangki air yang juga disediakan KRCS. Selain itu, beberapa organisasi sosial internasional lain, seperti Unicef, Charitas dan Care juga kerap mengambil air siap minum dari proyek yang nilainya mendekati 2 juta dolar ini. Saad Al Nahedz, bendahara KRCS, mengatakan untuk memastikan proyek desinilasi dapat bekerja dengan baik, pihaknya mengontrak sebuah perusahaan penyulingan air dari Singapura untuk mengoperasikan dan memelihara proyek tersebut. Menurut dia, untuk operasional proyek tersebut, dibutuhkan biaya 180 ribu dolar per enam bulan ditambah pembelian bahan bakar diesel mencapai 65 ribu dolar. Dalam jangka panjang, kata Saat, KRCS berencana untuk menghibahkan proyek ini kepada pemerintah RI, sekaligus pengelolaannya. Namun demikian, Kepala Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh, Kuntoro Mangkusoebroto, saat bertemu rombongan di kantor BRR, meminta waktu dua tahun lagi sebelum diserahterimakan karena harus mempersiapkan tenaga pengelolanya. Waktu terus bergulir seiring bergantinya hari. Sudah hampir setahun bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh. Dari bencana ini, muncul rasa kemanusiaan tinggi baik dalam negeri maupun dunia internasional. (yus ) Post Date : 22 November 2005 |