Menyoal tarif air di Ibu Kota

Sumber:Bisnis Indonesia - 09 Agustus 2010
Kategori:Air Minum

Banjir dan krisis air, dua masalah yang hampir semua orang paham bagaimana sebab akibat masalah itu muncul. Namun, soal distribusi air sedikit saja orang yang paham apa saja masalahnya.

Di Jakarta, distribusi air bersih dimiliki oleh dua operator swasta yang bermitra dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pam Jaya. Dua distributor itu adalah PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) dan PT Aetra Air Jakarta.

Dalam diskusi tentang pengelolaan air bersih, Direktur Utama Pam Jaya Maurits Napitupulu mengatakan ada beberapa persoalan dalam tubuh operator air bersih yang ada mulai dari masalah pemeliharaan alat, hingga tarif air.

Menurut Maurits, masalah internal perusahaan di tubuh dua operator air di Jakarta yang sudah bermitra dengan Pam Jaya sejak 1998 perlu diperhatikan oleh banyak pihak, terutama Pemprov DKI Jakarta sebagai pemegang saham mayoritas Pam Jaya.

"Saat ini, tingkat kebocoran air mencapai 40% sementara ada keterbatasan pasokan dengan tantangan coverage area baru hingga 61% dan tingginya tingkat kebocoran sampai 64%," ujar Maurits.

Belum lagi masalah subsidi silang pelanggan yang tidak seimbang membuat dua operator air putar otak untuk membiayai dana operasional perusahaan di tengah tuntutan masyarakat agar mendapatkan pelayanan yang maksimal.

Dengan berbagai masalah teknis yang dihadapi, sebagai mitra operator air layak konsumsi di Jakarta, Pam Jaya merasa dukungan Pemprov DKI sendiri justru kurang maksimal. Perusahaan jasa layanan masyarakat ini justru dianaktirikan dianggap berbeda dengan aset BUMD DKI Jakarta lain.

"Sektor transportasi subsidinya besar, sektor pendidikan juga begitu, subsidinya besar. Namun, PAM tidak ada padahal itu kebutuhan dasar masyarakat Jakarta," ujar Maurits.

Intinya, masalah pelik dalam tubuh dua operator air itu adalah kebutuhan subsidi dana dari Pemprov DKI adalah subsidi berbagai kebutuhan dapur perusahaan, termasuk utang perusahaan selama masa operasional 12 tahun.

Hal yang sama diutarakan Wakil Direktur Palyja Herawati Prasetyo. Dia mengatakan pihaknya sebagai operator menghadapi berbagai masalah manajemen perusahaan yang tidak ringan. Kecuali beban defisit perusahaan sebesar Rp280 miliar, masalah lainnya adalah kebocoran air.

Kebocoran

Akibat kebocoran itu, sumber pemasukan perusahaan tentu sangat jauh berkurang karena dana operasional yang sudah dikeluarkan tidak sebanding pasokan tarif pelanggan. Belum lagi masalah subsidi silang tarif air dari kelompok pelanggan tertentu membuat pemasukan perusahaan tidak sebanding dengan biaya operasional.

Maklum, selama 17 tahun kontrak kerja sama tripartit antara Pemprov DKI, PAM Jaya, dan para operator, ditentukan jika seluruh biaya pengoperasian pelayanan air bersih hanya bertumpu pada besaran tarif atau pembayaran konsumen yang disebut full cost recovery.

Di tubuh Palyja, besaran tarif rata-rata berada pada kisaran harga Rp5.100 per meter kubik.

"Sejak kontrak selama 12 tahun ini, biaya tarif naik pada 2007 sebesar 10% dan belum ada kenaikan lagi sementara kebutuhan operasional sangat besar dengan tuntutan pelayanan kepada masyarakat harus maksimal," ujar Hera.

Usulan kenaikan tarif tidak serta merta berjalan mulus. Ada aturan yang memikat yakni Peraturan Mendagri No. 23/2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum pada PDAM dan Perda DKI Jakarta No.11/1993 tentang Pelayanan Air Minum di DKI Jakarta.

Belum lagi, persetujuan dari DPRD DKI dipastikan sangat alot hingga masyarakat pasti keberatan jika harga air naik di tengah semakin tingginya kebutuhan konsumsi rumah tangga.

Namun, Hera mengatakan kebutuhan kenaikan tarif makin mendesak karena air menyangkut hajat hidup orang banyak. Bila tidak ada kebijakan kenaikan tarif atau subsidi pemerintah, para mitra Pam Jaya ini tidak akan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat. Th.D.Wulandari



Post Date : 09 Agustus 2010