Medan. Akhir-akhir ini, pertanian menjadi topik obrolan utama di Desa Durin Sirugun-Derek. Kebutuhan pupuk dan pestisida kimia sangat tinggi, sementara, harga pupuk yang mahal dan kelangkaan pasokan membuat petani tak berdaya. Dengan tujuan menyelamatkan daerah tangkapan air, ESP memfasilitasi warga Durian Sirugun-Derek belajar mengelola kawasan desanya melalui Sekolah Lapangan Pertanian Ekologis, pada awal April 2008.
Di sekolah lapangan ini, petani belajar kegiatan pertanian yang ramah, menjadi seorang manajer kebun di ladangnya sendiri dengan mengelola sumber daya alam yang ada di sekitarnya.
Untuk memenuhi kebutuhan pupuk misalnya, peserta Sekolah Lapangan Desa Durian Sirugun membuat kompos dari bahan-bahan yang ada di sekitar lahan mereka, termasuk kotoran hewan, daun, serbuk gergaji dan limbah rumah tangga. “Di luar peserta SL, banyak petani yang ingin belajar cara membuat kompos, tapi masih malu,” kata Rudi Tarigan, 28.
Buncis menjadi tanaman percobaan pertama yang dilakukan kelompok SL Durin Sirugun-Derek. Percobaan dilakukan di lahan seluas 20 m x 20 m. Proses percobaan? “Dengan 5 jalur tanaman buncis kami mendapatkan rata-rata 10-20 persekali panen. Buncis berproduksi hingga 10 kali masa panen. Modal yang kami keluarkan hanya pembelian bibit. Praktek dilakukan bersama-sama di lahan percobaan, kemudian kami aplikasikan di lahan masing-masing,” jelas Rudi, yang dipercaya menjadi Ketua SL Derek Permai Ekologis.
Sekolah Lapangan Pertanian Ekologis tidak hanya membahas ekosistem kebun. Melalui proses belajar bersama yang dilakukan langsung di ladang-ladang masyarakat, petani mampu melihat hubungan sebab akibat yang terjadi antar ekosistem. Keterkaitan antara ekosistem kebun, ekosistem hutan, ekosistem sungai, dan ekosistem pemukiman tidak dapat dipisahkan. Sekolah lapangan juga memberi ruang pada petani untuk meningkatkan kualitas dirinya.
“Proses belajar membuat saya semakin percaya diri. Ada pelajaran pengamatan pada tanaman, misalnya mengamati jenis hama dan musuh alami tanaman buncis. Setiap selesai mengamati tanaman selalu ada giliran memaparkan hasil pengamatan. Awalnya saya tidak berani maju ke depan, tapi karena suasana belajarnya mendukung akhirnya saya berani mengungkapkan pendapat saya di depan peserta SL lain. Sekolah lapangan bukan cuma belajar tentang tanaman, tapi juga belajar bicara di depan umum,” ungkap Nande Agus, 30, dengan semangat.
Sumber : Ridahati Rambey & Dina Kartika Sari, ESP Sumatera Utara.
Post Date : 19 Agustus 2009
|