Menyeberang Laut demi Seember Air

Sumber:kompas - 26 Agustus 2006
Kategori:Air Minum
Matahari bersinar cerah di pelabuhan rakyat Okoreko, Desa Rorurangga, Kecamatan Pulau Ende, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Senin (21/8).

Berjalan sekitar 500 meter ke arah utara dari Okoreko, terdapat empat unit alat penyulingan sedang beroperasi. Mesin penyulingan itu dipasang tak jauh dari bibir pantai. Mesin yang dipasang pada awal Juli 2006 ini menggunakan tenaga surya.

Untuk tahap awal, disiapkan satu galon ukuran besar dengan kapasitas 60 liter yang berfungsi menampung air laut. Di bawah galon diletakkan semacam jeriken kemasan minyak goreng guna menampung air laut yang telah diproses menjadi air tawar. Air hasil penyulingan itu disalurkan melalui selang, sementara air laut yang gagal dalam proses disalurkan ke jeriken atau tempat penampungan tersendiri.

"Sisa air yang gagal dalam penyulingan itu dimasukkan ke dalam galon lagi untuk diproses dari awal," kata Hasan, yang saat itu bersama Amir dan Nasrun menjaga dan mengawasi pengoperasian empat unit alat tersebut. Mereka memang dipercaya oleh organisasi masyarakat setempat Desa Rorurangga untuk mengelolanya.

Sementara dari sampel air uji coba yang telah diteliti Dinas Kesehatan Kabupaten Ende, diketahui airnya layak diminum. Bahkan, dilaporkan air penyulingan tersebut kualitasnya lebih baik daripada air mineral dalam kemasan.

"Selama masa uji coba sampai sekarang, dari total empat unit yang dioperasikan bisa menghasilkan 8,5 liter hingga 10 liter air tawar. Tapi sebenarnya jika panas matahari sangat kuat, hasilnya bisa lebih dari 10 liter," kata Junaidin PS, Kepala Desa Rorurangga di Pulau Ende.

Menurut Junaidin, sementara ini air tawar yang dihasilkan disimpan di rumah kepala desa, baru setelah itu dibagikan kepada warga secara merata. Meski tiap keluarga hanya mendapat setengah botol air mineral kemasan setengah liter, warga menerima hal itu. Sebab, air bersih yang diperoleh di Pulau Ende ibarat obat penyegar dahaga yang dirindukan sejak lama.

Perangkat penyulingan didatangkan dari Jerman atas kerja sama lembaga swadaya masyarakat (LSM) Bamintra di Maumere, Kabupaten Sikka, dengan salah satu LSM di Jerman. Perjuangan Bamintra menitikberatkan daerah kepulauan yang tidak memiliki sumber air di NTT. Pulau Ende, yang selama ini warganya kesulitan mendapatkan air bersih untuk konsumsi, akhirnya mendapat perhatian.

Pemerintah Kabupaten Ende menetapkan lahan seluas 1 hektar di Rorurangga untuk produksi air tawar. Lahan ini mampu menjadi lokasi beroperasinya sekitar 5.600 unit mesin penyulingan. Harga mesin itu Rp 3 juta per buah. Harga peralatan itu akan dibayar secara bertahap selama 10 tahun. Di akhir kerja sama, aset ini menjadi milik Kecamatan Pulau Ende.

Pulau Ende

Pulau Ende, satu dari 17 kecamatan di Kabupaten Ende, berpenduduk 2.135 kepala keluarga (KK) atau 8.611 jiwa. Mereka tersebar di tujuh desa: Desa Rorurangga, Ndoriwoy, Randoraterua, Paderape, Aejeti, Puutara, dan Redodory.

Perjalanan dari Kota Ende ke Pulau Ende mengandalkan perahu motor dan membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Rutenya dua kali sehari, yakni pagi dan siang. Pagi pukul 06.00 dari Pulau Ende, dan sekitar pukul 09.00 dari kota Ende. Siangnya, pukul 12.30 dari Pulau Ende ke kota, dan baliknya pukul 14.00.

Terlihat dari Kota Ende di daratan Flores, Pulau Ende sejak lama dikenal dengan sejumlah ketertinggalannya, di antaranya kesulitan mendapatkan air tawar dan bersih. Sumur yang dibuat berisi air asin. Maka air menjadi barang mewah. Tidak jarang untuk mendapatkan seember air, mereka menyeberang ke kota Ende di daratan Flores.

Sumur-sumur di Pulau Ende yang airnya asin terutama di Desa Puutara dan Rorurangga, serta Dusun Rakodari di Desa Aejeti. Warga yang mengonsumsi air asin mengalami gangguan penyakit, misalnya mules, mencret, gangguan pada saluran kencing, batuk, sakit pinggang.

Ansar Abubakar, warga Desa Rorurangga mengakui, daripada jalan jauh ke kota Ende, mereka belakangan membeli air pada tukang ojek, meski airnya masih terasa agak asin karena diambil dari sumur tertentu di Pulau Ende yang kadar asinnya rendah. "Biasanya untuk tiga jeriken (kapasitas 20 liter per jeriken), kami membayar ke tukang ojek Rp 5.000. Warga jarang memasak lagi air ini karena kalau dimasak lagi rasanya makin asin," kata Ansar.

Perumahan di pulau itu rata-rata dilengkapi bak penampung. Wadah itu khusus disiapkan untuk menampung air hujan melalui atap rumah. Namun upaya itu nyaris sia-sia karena hujan sangat minim. Dari catatan masyarakat, hujan yang turun membasahi Pulau Ende dalam setahun hanya sekitar dua bulan.

Rata-rata penduduknya bekerja sebagai nelayan. Seperti di daerah pesisir lainnya, kampung nelayan di Pulau Ende identik dengan kemiskinan. Alat tangkap mereka serba tradisional. Mereka hanya mengandalkan perahu atau perahu motor kecil.

Semua hal tersebut melengkapi kemiskinan warga Pulau Ende. Kondisi inilah yang membuat para nelayan nekat memburu ikan dengan menggunakan bahan peledak. Setiap kali mendengar atau terjadi ledakan bom ikan di laut Ende, warga diam-diam mengarahkan tudingan ke nelayan Pulau Ende.

Warga Pulau Ende menggantungkan harapan pada upaya penyulingan air laut menjadi air tawar yang sedang diujicobakan di Desa Rorurangga. Jika uji coba ini membuahkan hasil gemilang, itu berarti sekaligus akan membebaskan masyarakat dari berbagai jenis penyakit akibat mengonsumsi air asin. Mereka juga bisa menghemat waktu, tenaga dan uang. (ANS) SAMUEL OKTORA

Post Date : 26 Agustus 2006