“Semanis-manis gula itu terkadang masih ada rasa pahitnya. Tapi manisnya lidah, bisa membuai seseorang,” cetus Ramdani, warga Desa Ciangir, Legok, Tangerang. Laki-laki berusia 54 tahun itu masih menaruh curiga atas rayuan pihak ketiga (developer) dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang akan menjadikan Ciangir sebagai tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) dengan teknologi paling mutakhir.
Keberadaan TPST Ciangir diproyeksikan dapat memberdayakan 300 warga dalam bisnis pengolahan sampah menjadi pupuk organik dan briket. Kepada 56 kelompok yang terdiri atas lima sampai tujuh orang setiap hari, diberikan kesempatan mengolah sampah yang sudah dipilah dengan volume lima ton per hari. Jika harga pupuk organik per kilogramnya 300 rupiah, setiap kelompok bisa mendapatkan 1,5 juta rupiah per hari. . Untuk meyakinkan Ramdani dan warga lain, pihak ketiga sengaja mengajak mereka plesir ke Bali untuk melihat pengolahan sampah menjadi pupuk organik berbasis masyarakat. Caranya pun sangat mudah. Setelah sampah digiling, tinggal diberikan satu liter cairan kimia untuk satu ton sampah. Dengan sendirinya, sampah tersebut akan cepat membusuk dan menjadi kompos.
Namun cara tersebut belum bisa meyakinkan Ramdani serta warga lainnya. Pasalnya, permasalahan sampah di Bali dengan di Jakarta jauh berbeda. Apalagi demo pengolahan sampah sepertinya telah diskenario oleh pihak ketiga. Sampah yang diolah adalah hasil tebangan tanaman yang sudah jelas dapat diolah mejadi pupuk organik.
Ramdani yang sehari-hari bekerja sebagai petani mengerti cara membuat pupuk organik. “Memang dari sampah ada kemungkinan 30 persen dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Lalu 70 persen sisanya akan dimanfaatkan sebagai apa, masih belum jelas,” ujar Ramdani.
Jika sisa pengolahan sampah untuk pupuk organik tersebut dibiarkan begitu saja, tentu akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan karena sampah akan tetap menggunung. Padahal, area di sekitar rencana dibangunnya TPST adalah area permukiman penduduk. Selain itu, ada sungai Cimanceri (berbatasan dengan Bogor) yang sangat mungkin terkena dampak polusi.
Pihak ketiga Pemprov DKI berusaha menjawab kekhawatiran warga Ciangir tentang sisa sampah yang bisa menggunung. Warga diajak ke Kranggan, Pondok Gede, untuk melihat secara langsung pembuatan briket dari sampah. Namun Wadi, salah seorang warga Ciangir, belum juga mendapat jawaban konkret untuk mengatasi masalah sisa pengolahan sampah menjadi pupuk maupun briket.
Wadi memberi alasan, akan dibutuhkan peralatan atau mesin dalam jumlah banyak jika program tersebut benar-benar ingin melibatkan masyarakat secara langsung. Diperkirakan, Ciangir akan menampung volume sampah 2.500 ton per hari. “Apakah mungkin setiap hari bakal tidak ada sampah yang menggunung karena belum sempat diolah,” kata Wadi.
Namun, pihak ketiga berusaha meyakinkan dia bahwa TPST Ciangir tersebut akan sangat jauh berbeda dengan apa yang selama ini didengar warga tentang Bantar Gebang, Bekasi. Tim Adviser Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Sociq Suhardianto, menjelaskan pengolahan sampah berbasis teknologi tinggi ini akan sangat ramah lingkungan dan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. “Kalau kami selisih janji, kami akan mendapatkan teguran dari fasilitator independen yang membiayai proyek ini,” ujar Sociq.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Ramdani, Wadi, dan warga lain sepertinya luluh juga. Namun, jika pihak ketiga selisih janji, warga mengancam tidak akan segan-segan menghentikan pengoperasian TPST Ciangir. Karena itu, warga meminta kesepakatan tertulis terkait tuntutan warga terhadap pihak ketiga yang bakal mengoperasikan TPST Ciangir. Warso
Post Date : 25 Mei 2009
|