|
JAKARTA - Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto mengatakan, pihaknya tidak mengetahui persis kondisi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya sehingga belum termasuk dalam program penyehatan PDAM oleh Departemen PU. "Kami akan meneliti PDAM Jaya secara khusus untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya. Jika memang 'sakit', PDAM Jaya harus masuk dalam program penyehatan PDAM," katanya kepada Pembaruan di Jakarta, Selasa (19/7) disela-sela penjelasan tentang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji formil dan uji materil terhadap Undang-Undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA) yang diajukan oleh beberapa LSM dan perorangan. Menurut menteri, pihak Departemen PU tak mengetahui persis isi kerja sama PDAM Jaya dengan kedua mitranya, PT Thames Pam Jaya (TPJ) dan PT Pam Lyonnaise Jaya (Palyja). "Perjanjian kerja sama mereka tentu didasarkan pada undang-undang lama, tetapi tak menutup kemungkinan ditinjau kembali jika peraturan pemerintah tentang pengelolaan sumber daya air, menurut UU baru, sudah diterapkan," kata Djoko yang didampingi Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Departemen PU, Siswoko. Menurut Djoko Kirmanto, setekah hampir satu setengah tahun ditetapkannya UU no 7/2004, tahun 2005 ini Departemen PU akan segera merampungkan ketentuan-ketentuan tentang sumber daya air, baik berupa peraturan presiden (perpres) maupun peraturan pemerintah (PP). Salah satu diantaranya PP tentang pembiayaan pengelolaan sumber daya air. Seperti diberitakan (Pembaruan, 15/7), PDAM Jaya sangat dibebani oleh kerja sama dengan kedua mitranya, antara lain kewajiban membayar water charging atau imbalan kepada TPJ dan Palyja, sebagai konsekuensi perjanjian yang dibuat dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui PDAM Jaya. "Pemprov DKI seharusnya meninjau kembali perjanjian kerja sama dengan TPJ dan Palyja, khususnya klausul menyangkut pola imbalan, karena pelanggan yang menjadi korban setiap kali tarif dinaikkan. Apalagi, penentuan imbalan yang didasarkan pada rumusan perjanjian yang dibuat PDAM Jaya dan TPJ serta Palyja, hasilnya tidak ada yang dialokasikan untuk membayar utang PDAM Jaya dan memberi kontribusi ke pendapatan asli daerah (PAD)," kata Ketua Harian Masyarakat Air Minum Indonesia (MAMI), Poltak H Situmorang, Hal ini, kata Poltak, membuat masalah utang PDAM Jaya tak kunjung selesai, malah terus membengkak. Padahal, masalah utang inilah yang dulu membuat Pemprov DKI memutuskan untuk bekerja sama dengan mitra swasta dan menyerahkan pengelolaan dan distribusi air minum di DKI. Selama tujuh tahun kerja sama operasi dilakukan oleh PDAM Jaya dengan dua mitra swasta, tarif air sudah naik lima kali, tapi keluhan dari pelanggan tetap saja ada, yakni mencapai 9.000 pengaduan tiap bulan. Apalagi sejak 1998 hingga 2003, biaya investasi yang dikeluarkan Palyja dan TPJ hampir tidak ada. Berdasarkan KSO dengan PDAM pada 1998, Palyja dan TPJ berjanji akan menginvestasikan Rp 1,1 triliun. Tapi dalam lima tahun, mereka justru menerima uang dari penjualan air sebesar Rp 4,8 triliun. Menurut Djoko Kirmanto, melihat fakta bahwa dari 300 PDAM di Indonesia, 90 persen di antaranya kondisinya kurang sehat, secara khusus Departemen PU melakukan program penyehatan dengan menggunakan dana bantuan luar negeri dan APBN. Penyehatan itu, bukan bertujuan untuk privatisasi atau swastanisasi tetapi bagaimana membenahi manajemen mereka yang kurang baik. "Faktanya, banyak sumber daya manusia (SDM) di PDAM yang tidak ahli dalam bidangnya. Misalnya, direktur teknik yang tidak memahami teknik air dan sebagainya," katanya. Menteri PU juga mengatakan, masalah tarif yang masih minim, salah satu faktor yang menggerogoti PDAM. (N-6) Post Date : 20 Juli 2005 |