|
Inilah nasib Bantar Gebang, salah satu kecamatan di Kota Bekasi, sekitar 50 kilometer dari DKI Jakarta. Sejak dipilih menjadi tempat pembuangan akhir sampah DKI Jakarta pada tahun 1989, Bantar Gebang pun identik dengan bau busuk. Di saat angin berembus sedikit kencang, aroma tidak sedap dari bukit-bukit sampah bisa tercium dari jarak dua kilometer bahkan lebih. Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Bantar Gebang inilah akhir dari perjalanan kotoran dan limbah sisa konsumsi penduduk Jakarta yang menurut data Dinas Kebersihan DKI Jakarta tahun 2005 mencapai 6.000 ton per hari. Lebih dari separuhnya, sekitar 3.100 ton, merupakan sampah yang dihasilkan dari limbah aktivitas rumah tangga dan permukiman penduduk Jakarta. Sementara sisanya berasal dari sampah perkantoran, industri, dan sekolah. Sebagian besar dari sampah-sampah yang dibuang dan ditimbun di TPA Bantar Gebang adalah sampah organik, dan sisanya, sampah non-organik, termasuk golongan bahan berbahaya dan beracun (B3). Tidaklah berlebihan apabila julukan si penampung sampah DKI Jakarta masih disandang Bantar Gebang. Bahkan, sangat besar kemungkinan julukan itu akan terus melekat pada Bantar Gebang apabila Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi sepakat memperpanjang kerja sama penggunaan TPA ini pada bulan Juni mendatang. Bagi Pemprov DKI, Bantar Gebang masih menjadi pilihan, yang paling memungkinkan, setelah rencana pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong, Kabupaten Bogor, gagal akibat ditolak penduduk setempat. Dapat dibayangkan betapa sibuknya pemerintah dan warga DKI Jakarta apabila ribuan ton sampah itu sampai memenuhi Jakarta karena tidak ada tempat pembuangannya. Di pihak lain, kedatangan ratusan truk yang mengangkut ribuan ton sampah Jakarta memberikan kontribusi miliaran rupiah setiap bulannya ke kas daerah Kota Bekasi. Emas hitam Bagi Mada (25) dan ribuan pemulung di TPA Bantar Gebang, timbunan sampah di Bantar Gebang memberikan peluang untuk dapat mengasapi dapur keluarganya. Meski harus setiap hari menghirup bau busuk dan dirubung ribuan lalat, Mada mengaku tetap bertahan mengais di tengah tumpukan sampah. "Mau kerja apa lagi? Yang penting halal," ujar ayah satu anak ini sambil tetap memilah sampah plastik untuk dijemur. TPA Bantar Gebang memang menjadi lapangan kerja bagi sekitar 1.675 keluarga pemulung yang tersebar di gubuk-gubuk dan rumah-rumah kumuh di pinggiran zona pembuangan sampah. Bahkan tidak sedikit mereka yang berdiam di tiga kelurahan yang berdekatan dengan TPA, yakni Sumur Batu, Ciketing Udik, dan Cikiwul. Sedikitnya 6.000 jiwa mengandalkan hasil menambang "emas hitam" yang dianggap menjijikkan itu. "Mereka (pemulung) ini berasal dari berbagai tempat. Paling banyak dari Karawang, Banten, Tegal, dan beberapa daerah lain, bahkan ada juga dari Medan," tutur Abdul Rahman Jambor (51), Ketua Forum Komunitas Pemulung Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Karawang (Jabodetabekka) saat ditemui Kompas hari Jumat (5/5). Pembuangan sampah di TPA Bantar Gebang ini menggunakan cara pemusnahan sampah yang dinamakan sanitary landfill. Jutaan ton sampah itu dipendam dan diuruk tanah di TPA ini. Akibatnya jelas. Sampah pun menumpuk hingga membentuk bukit-bukit sampah yang menurut pemantauan Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Bekasi pada April lalu sudah mencapai ketinggian di atas 12 meter, atau setara bangunan bertingkat tiga. Di bukit-bukit sampah inilah Mada dan ribuan pemulung itu berlomba memenuhi keranjang mereka. Mereka seakan tidak menghiraukan ancaman gangguan kesehatan akibat terlalu sering menghirup gas metana yang berasal dari pembusukan sampah. Dikelola setengah hati Bulan Juni mendatang, TPA Bantar Gebang akan berakhir masa kontrak pemakaiannya. Namun sampai Mei ini, tim evaluasi TPA Bantar Gebang yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi maupun Pemkot Bekasi belum memastikan apakah kerja sama penggunaan TPA ini akan berlanjut atau dihentikan. Anggota tim evaluasi TPA, Wahyu Prihantono, mengindikasikan, kalaupun kerja sama diperpanjang, pengelola TPA harus diganti dengan pihak-pihak yang lebih profesional. Pantauan Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Bekasi jelas menyebutkan, daya tampung TPA ini sudah mencapai titik puncak. Di sejumlah zona pembuangan, ketinggian bukit sampah mencapai rata-rata 15 meter, bahkan ada yang sudah setinggi 18 meter. Sementara batas ketinggian sesuai dengan syarat dalam analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) setinggi 12 meter. Dalam laporannya bulan April 2006 dijelaskan, dari lima zona yang dibuka untuk pembuangan sampah, kini tersisa dua zona pembuangan yang masih aktif. Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Bekasi H Syafri mengaku sudah memberikan rekomendasi agar volume sampah yang dibuang ke TPA Bantar Gebang harus dikurangi dengan jalan diolah terlebih dulu di Jakarta. Selain masalah volume sampah, laporan ini juga menyebutkan adanya pencemaran air sungai dan lingkungan di sekitar TPA. Belum lagi persoalan pembayaran uang kompensasi dari tipping fee sampah yang berulang kali menimbulkan gejolak di masyarakat setempat. Juga belum tuntasnya permasalahan utang PT Patriot Bangkit Bekasi kepada Pemkot Bekasi dan sub- sub kontraktor penyedia alat berat, yang berulang kali menyebabkan terganggunya aktivitas pembuangan sampah di TPA ini. Dalam perbincangannya dengan Kompas hari Kamis lalu, Ketua Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Persampahan Nasional (Zero Waste Indonesia) Bagong Suyoto dengan tegas menyatakan, yang terjadi di TPA Bantar Gebang bukan pengelolaan sampah, tetapi sekadar tempat pembuangan sampah. Cokorda Yudistira Post Date : 15 Mei 2006 |