SEBAGAI negara kepulauan terbesar di dunia, permasalahan pengamanan laut masih menjadi kendala. Keberadaan aparat hukum seperti TNI AL, Polisi Air, dan Bea Cukai, masih belum mampu mengatasi permasalahan impor limbah ilegal yang masuk ke Indonesia. Sungguh suatu hal yang sangat memilukan sekaligus memalukan. Apakah kita mau disebut sebagai negara keranjang sampah?
Ironisnya lagi, masuknya impor limbah ilegal sudah terjadi sejak tahun 1980. Artinya, Indonesia selalu dijadikan salah satu negara tujuan pengiriman limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dari industri negara-negara maju sejak dulu. Lemahnya penegakkan hukum di wilayah laut, khususnya yang berkaitan dengan impor limbah ilegal harus segera menjadi perhatian pemerintah.
Surga Limbah Asing
B3 merupakan salah satu dari tujuh masalah lingkungan utama pada tingkat global, sehingga membutuhkan kerjasama diantara negara-negara untuk mengatasinya. Adapun tujuh masalah lingkungan global tersebut, yaitu konservasi satwa liar dan habitatnya, pencemaran di laut, pertumbuhan populasi, keseimbangan ekologi dan biosphere, pemanasana global dan penurunan ozon, serta senjata kimia dan nuklir. Pada mulanya, limbah B3 dianggap hanya sebagai masalah negara-negara maju. Akan tetapi perkembangannya, ketika peraturan pengelolaan limbah B3 di berbagai negara sangat ketat, dimana biaya pengolahan limbah B3 sangat mahal, maka para pihak industri lebih suka memilih "memperdagangkan" limbahnya daripada harus mengolah dengan biaya yang sangat besar. Nah, mulai dari sinilah, limbah B3 menjadi salah satu objek atau komoditi yang dapat diperjualbelikan, sehingga banyak negara maju menjadikan negara-negara berkembang yang miskin sebagai sasaran tempat pembuangan limbah B3, baik secara sah (legal) maupun tidak sah (illegal). Dengan demikian, limbah B3 tidak lagi dianggap sebagai masalah nasional suatu negara, melainkan sudah menjadi masalah regional dan bahkan internasional.
Sementara itu, untuk mengantisipasi perkembangan dan keculasan negara maju ini, maka the United Nations Environtment Programme (UNEP) memprakarsai penyusunan konvensi global tentang pengendalian dan pengangkutan limbah lintas batas dan pembuangan limbah B3. Pada tanggal 22 Maret 1989 di Basel-Swiss, the Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wates and Their Disposal (Konvensi Basel) ditandatangani oleh negara-negara peserta konvensi. Sementara oleh Indonesia, Konvensi Basel diratifikasi melalaui Kepres No. 61 Tahun 1993.
Namun demikian, meski terdapat Konvensi Basel, praktik-praktik impor limbah ilegal yang berbahaya tersebut hingga kini masih terus berlangsung. Memang, Impor limbah salah satu bisnis yang sangat menggiurkan bagi para pengusaha karena hampir tidak beresiko apa pun, ditambah pengusaha dari negara pengekspor berani membayar mahal.
Meskipun menjadi salah satu negara peratifikasi Konvensi Basel, Indonesia masih menjadi sasaran pembuangan limbah B3 secara ilegal. Bagi masyarakat Indonesia, kasus impor limbah ilegal sudah menjadi kejahatan menahun, sehingga dapat diibaratkan penyakit kanker yang terus menggerogoti kesehatan masyarakat Indonesia. Betapa tidak, efek yang ditimbulkan dari impor limbah yang mengandung B3 dapat menyebabkan kecacatan tubuh pada generasi rakyat Indonesia dikemudian hari.
Oleh karena itu, apa pun alasannya, impor limbah ilegal yang mengandung B3 harus segera diberantas. Mengingat, limbah B3 memang sudah lama diketahui sebagai musuh bebuyutan kesehatan masyarakat. Pemberantasan terhadap masuknya impor limbah ilegal telah memiliki payung hukum, yaitu Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Namun demikian, sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pemberantasan impor limbah ilegal akan dihadapkan pada sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. Hal ini dikarenakan, para importir limbah B3 dari beberapa negara seperti Singapura, Jepang, dan Taiwan kini melirik pemerintah daerah (pemda) agar bersedia menampung limbah.
Tentu saja, hal ini harus disikapi secara serius oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. Mengingat, tawaran yang diberikan oleh para importir sangat menggiurkan, sementara disisi lain, pemerintah daerah dihadapkan pada iming-iming peningkatan PAD sebanyak-banyaknya.
Zona Tambahan Sebagai Solusi
Salah satu hal yang terlupakan dalam pemberantasan penyelundupan di wilayah laut, termasuk impor limbah ilegal adalah peran Zona Tambahan (Contiguous Zone) yang luasnya tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal seperti yang telah diatur dalam Konvensi Hukum Laut Internasional atau yang lebih dikenal dengan United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). Zona tambahan secara tradisional adalah bagian dari laut lepas, tetapi negara dapat melakukan fungsi-fungsi tertentu dalam zona tersebut. Hal ini sebagaimana tertera dalam Pasal 24 Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Teritorial yang memasukan zona tambahan ke dalam laut lepas. Namun pada UNCLOS 1982 terjadi perubahan paradigma, dimana zona tambahan tidak lagi dipandang sebagai zona laut lepas, melainkan rezim hukum yang berdiri sendiri.
Dalam Pasal 33 ayat (1) UNCLOS 1982 disebutkan bahwa dalam zona tambahan, negara pantai (coastal state) dapat melakukan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan tentang bea cukai/kepabeanan, fiskal, imigrasi, atau saniter (kesehatan) di dalam wilayah atau laut teritorialnya. Artinya, di zona yang seluas 24 mil tersebut, sebelum mereka sampai ke darat, pemerintah Indonesia berhak melakukan pemeriksaan kapal-kapal yang membawa barang ke wilayah Indonesia. Dengan demikian, ketatnya pemeriksaan terhadap kapal-kapal asing di Zona Tambahan akan membuat ciut nyali para pengusaha nakal, sehingga dapat mencegah masuknya impor limbah ilegal yang sulit untuk dikembalikan karena setiap negara pengimpor selalu berkilah bahwa mereka hanya negara transit. Kesulitan pengembalian limbah inilah yang menyebabkan beberapa pelabuhan Indonesia menjadi lahan tumpukan limbah B3.
Praktik dari rezim zona tambahan yang digunakan untuk mencegah masuknya barang ilegal telah diberlakukan oleh negara-negara maritime besar, seperti Inggris dan Amerika Serikat, bahkan Australia yang kontinental. Oleh karena itu, salah satu tawaran solusi yang harus dilakukan pemerintah dalam melakukan pemberantasan impor limbah ilegal adalah diundangkannya Zona Tambahan, sebagaimana Pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Akankan penyusunan Rancangan Undang-undangn (RUU) tentang Zona Tambahan menjadi prioritas bagi para pembuat kebijakan? Mengingat pentingnya fungsi dan peran Zona Tambahan dalam menangkal masuknya impor limbah ilegal.
Dengan demikian, langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam melakukan pemberantasan impor limbah ilegal, yaitu: Pertama, menyusun dan menetapkan Undang-undang Zona Tambahan Indonesia. Tentu saja, dalam UU Zona Tambahan tersebut tertuang batas-batas Zona Tambahan Indonesia, hak dan kewajiban serta jurisdiksi negara pantai, institusi yang berwenang adalam melakukan penegakkan hukum serta sanksi yang diberikan. Kedua, melengkapi sarana dan prasarana armada kapal canggih yang cepat guna mendukung pelaksanaan pengawasan dan penegakkan hukum di Zona Tambahan Indonesia. Mampukah Pemerintah Indonesia menuntaskan kasus impor limbah ilegal? Kenapa tidak. Akhmad Solihin (Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB)
Post Date : 09 April 2010
|