Menjaga Setiap Tetes Air

Sumber:Kompas - 08 Mei 2010
Kategori:Air Minum

Sambil tersenyum, Yap Kheng Guan, Direktur Jaringan 3P Public Utility Board, badan yang mengurus persoalan air di Singapura, menunjukkan air dalam kemasan bermerek NEWater. Ia mempersilakan semua tamunya, rombongan jurnalis dari Surabaya, menikmati air minum dalam kemasan itu.

Ia bercerita, ada 290 parameter pemantauan terhadap NEWater dan sumber air Singapura pada umumnya berdasarkan metode United States Environmental Protection Agency (US EPA) dan WHO. Dari US EPA dipakai 96 metode tes dan dari WHO digunakan 140 metode tes. Di luar itu, masih ada, setiap bulan ada sekitar 19.000 contoh air diikutkan dalam sedikitnya 80.000 tes.

Tidak heran, NEWater, dengan bahan baku utama adalah air limbah perkotaan yang ditampung dan diolah di reservoir Bedok, Kranji, Ulu Pandan, dan Selatar, bisa aman diminum. ”Kami tidak punya banyak air. Tanpa air, tidak ada kehidupan bisa berjalan,” ujar Yap.

Saat ini, 4,9 juta penduduk Singapura menghabiskan rata-rata 1,6 juta meter kubik air setiap hari. Hampir 40 persen air itu diimpor dari Malaysia. Sisanya didapat dari 15 reservoir, NEWater atau pengolahan air limbah, dan desalinasi air laut. Hampir tidak ada sumber air alami seperti yang mudah ditemui di Pasuruan, Jawa Timur, atau Kuningan, Jawa Barat. Tidak ada pula danau alami.

Peneliti pada Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, Lee Poh Onn, mencatat Singapura sebagai negara yang termasuk kelompok terbatas air. Kapasitas air alami negara itu hanya 139 meter kubik per kapita per tahun. Bandingkan dengan Indonesia yang mencapai 12.749 meter kubik per kapita per tahun.

Wajar jika Singapura memutar otak mencari cara mendapatkan lebih banyak air bersih. Selama lima tahun terakhir, Pemerintah Singapura mengalokasikan 330 juta dollar Singapura untuk menemukan cara itu. Apalagi, satu dari dua kontrak impor air dari Malaysia akan berakhir tahun depan. Kontrak lainnya akan berakhir pada tahun 2061. Singapura dan Malaysia beberapa kali berselisih soal harga air impor itu. Namun, Singapura dapat berbuat banyak selama masih membutuhkan pasokan air dari Malaysia.

Karena itu, Singapura berkeras meningkatkan produksi air sendiri. Selain mengandalkan alam, Singapura juga berusaha mengolah air limbah dan air laut menjadi air bersih. Dengan curah hujan 2.400 milimeter per tahun atau dua kali lebih tinggi dari rata-rata dunia, Singapura sebenarnya bisa menyimpan banyak air. Masalahnya, tidak ada cukup lahan untuk menyimpan air itu.

”Lahan kami terbatas dan ada banyak keperluan. Kami harus menjaga 50 persen daratan untuk daerah tangkapan air. Dalam beberapa tahun ke depan, area tangkapan akan kami naikan menjadi 75 persen dari seluruh daratan,” tutur Yap.

Jaga sungai

Singapura punya pengalaman buruk soal curah hujan yang tinggi dan tidak tertampung. Banjir Hari Raya pada tahun 1969 dan banjir Desember 1978 selalu dikenang sebagai dampak buruk ketiadaan pengelolaan air secara terpadu dan terencana. ”Dulu, sungai-sungai di Singapura tidak terawat seperti sekarang. Bantaran sungai dipenuhi permukiman kumuh dan investasi menjauh dari sungai. Air terbuang percuma,” ujar Yap.

Sampai pertengahan dekade 1970-an, air Sungai Singapura berwarna hitam dan penuh sampah atau lebih kurang sama dengan kondisi Kali Ciliwung di Jakarta saat ini. Setiap kali hujan, banjir melanda Singapura. Perdana Menteri Singapura kala itu, Lee Kuan Yew, mencanangkan gerakan pembersihan Sungai Singapura dan Sungai Kallang pada tahun 1977. Dua sungai utama Singapura itu harus bersih dalam 10 tahun. ”Kita harus membersihkan Sungai Singapura dan Sungai Kallang. Itu bisa dilakukan,” tegas Lee kala itu.

Pembersihan sungai bukan sekadar mengeruk sampah dari air. Singapura, antara lain, membuat perumahan layak huni untuk memindahkan pemukim di bantaran kali. Semua industri diperintahkan menjauhi sungai. Tidak boleh ada setetes air limbah industri mengalir ke salah satu dari 32 sungai di Singapura. ”Waktu itu untuk memindahkan semua pemukim di bantaran sungai butuh sekitar 200 juta dollar Singapura. Harga yang murah untuk kelangsungan lingkungan,” tutur Yap Kheng Guan.

Singapura memang mendapat lebih banyak dari yang dikeluarkan biaya pembersihan itu. Sekarang, seluruh properti terbaik berebut lokasi di tepi sungai atau laut. Sungai-sungai juga menjadi sarana rekreasi dan olahraga. Pemerintah Singapura membuat paket wisata khusus untuk menyusuri Sungai Singapura, yang tepiannya menjadi saksi sejarah perkembangan negara itu.

Yap juga mengatakan, Singapura ”tidak mengenal” normalisasi karena sungai juga berfungsi sebagai penangkap air. Hampir semua sungai dibuat berkelok-kelok. Mereka yang melihat Singapura dari ketinggian akan melihat sungai-sungai yang berkelok-kelok.

Risikonya, memang sebagian kawasan akan tergenang beberapa jam saat curah hujan tinggi dan volume sungai tidak cepat berkurang. Namun, lebih banyak waktu untuk menyerapkan air ke tanah untuk disimpan sebagai cadangan.

Persoalan banjir

Persoalan banjir juga relatif bisa diatasi dengan pengoperasian Marina Barrage di Selat Marina pada 30 Oktober 2008. Reservoir itu menampung aliran dari dua sungai utama, Singapura dan Kallang. Di dua sungai utama itu bermuara sungai-sungai lain seperti Sungai Geylang dan Sungai Rochor.

Bila volume air di sungai-sungai itu tinggi dan reservoir Marina hampir penuh, pintu-pintu dam akan dibuka untuk mengalirkan air ke laut. Namun, pembukaan itu juga harus melihat apakah permukaan air reservoir sudah lebih tinggi dari permukaan laut atau tidak. Kalau belum, pintu dam akan tetap ditutup.

Singapura juga sedang menyelesaikan pembangunan reservoir khusus penampung aliran dari saluran drainase kota di dekat Changi. Fasilitas senilai 2 miliar dollar Singapura itu dirancang untuk memproduksi hingga 2,4 juta meter kubik air olahan yang bisa dijadikan bahan baku NEWater. Kapasitas produksi Changi Water Reclamation Plants lebih banyak 800.000 meter kubik dari kebutuhan harian Singapura saat ini. ”Pada masa depan, kami akan menjadikan NEWater sebagai sumber air utama kami,” ujar Yap.

Sekarang Singapura mampu memproduksi 75.700 meter kubik air olahan setiap hari. Seluruh air diproduksi dari empat fasilitas pengolahan di Bedok, Kranji, Ulu Pandan, dan Selatar. Empat fasilitas dan kemampuan memproduksi NEWater itu hasil usaha yang dirintis sejak 1974 dan mulai berproduksi secara massal pada tahun 2002. Dengan kata lain, Singapura bersiap selama 28 tahun sebelum mulai memetik hasil atas usaha mereka mendaur ulang air.

Saat ini, memang NEWater masih lebih banyak dipakai untuk kebutuhan industri. Namun, Yap yakin pada masa depan NEWater akan jadi pilihan utama untuk air bersih dan air minum. ”Kami sudah mulai itu dari sekarang. Anda sudah ikut merasakan NEWater tidak berbeda dari air minum lain,” tuturnya.

Yap juga menegaskan, Singapura membangun galeri khusus di gedung operasional Marina Barrage. Galeri itu bagian dari kampanye lebih menghargai air. Pemerintah Singapura ingin penduduknya lebih bijaksana menggunakan air. ”Kami ingin menekan konsumsi air per kapita. Sekarang konsumsi per kapita per hari rata-rata 156 liter, turun 20 liter dibandingkan dengan tahun 1994. Kami ingin menjadikan 140 liter per hari pada 2030,” ujarnya.

Semua kebijakan pengolahan air itu merefleksikan dengan jelas tekad Singapura menjaga setiap tetes air bersih di negara itu. Tekad dan kebijakan yang didorong keterbatasan sumber daya. Tekad dan kebijakan yang oleh fisikawan Yohanes Surya sebagai Mestakung. Dalam konsep itu, sesuatu akan mengatur diri jika sudah mendekati tahap kritis. Singapura tahu akan menghadapi krisis air. Karena itu, mereka menjaga betul air di negara pulau tersebut. Kris Razianto Mada



Post Date : 08 Mei 2010