|
Suatu sore sekitar tahun 1930-an di Dieng, Suripto yang kala itu berusia 12 tahun bergegas mengambil sarung. Kabut dan hawa dingin menusuk tulang mulai menyergap. Tak banyak warga di Dieng yang keluar rumah begitu matahari mulai bersembunyi di ufuk barat. Jalanan kampung yang waktu itu selebar 2 meter pun lengang. Hanya suara jangkrik dan terkadang diselingi derit cikar, kereta petani yang ditarik 1-2 lembu mengangkut hasil pertanian, yang terdengar. ”Jaman sak monten taksih sepen sanget. Hawanipun ugi atis kados es. Kadang toyanipun malah dadi es. Dados lek pun bar ngashar, jarang ingkan medal tiang mriki. Kruntelan nganggo sarung teng jero omah (Zaman itu masih sepi sekali. Hawanya masih dingin seperti es. Kadang air menjadi es. Jadi, kalau selepas waktu ashar, jarang orang sini yang ke luar rumah. Menghangatkan diri dengan sarung di dalam rumah),” tutur Suripto (81), sesepuh warga Desa Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah, mengenang masa kecil. Waktu berlalu dan masa pun berganti. Kini, kenangan indah yang masih terekam kuat di benak Suripto akan tempat kelahirannya itu nyaris tak berbekas. Sejauh mata memandang, hanya terlihat hamparan ladang kentang. Ladang yang kelak berubah jadi gurun, entah perlu berapa tahun lagi jika tetap dibiarkan seperti sekarang ini. Seloroh Sudjarwo (50), warga Kejajar yang menemani turun dari Dataran Tinggi Dieng, berseloroh, apa yang dipikirkan orang luar ketika menyaksikan lereng gunung yang kritis, penuh sayatan lahan ditanami serampangan. Kondisi lahan kritis itu meluas, bisa disaksikan di sisi kanan dan sisi kiri tepi sepanjang jalan, dari Dieng menuju ke Garung ataupun Dieng turun ke Batur. ”Kalau sampai tidak berpikir, artinya ya kacamata orang itu rusak atau malah matanya sekalian yang sangat rabun,” kata Sudjarwo sambil prihatin. Perkampungan Dieng yang dulu sepi telah berubah menjadi deretan ribuan tembok rumah berjejal. Tak ada lagi rimbunan hutan, kepak elang jawa, dan serombongan belibis di atas telaga. Telaga juga mulai kering dan jalan di pertigaan Dieng Wetan sudah terbiasa banjir ketika hujan deras berlangsung. Sekretaris Forum Pengembangan Pariwisata Kawasan Dieng Tavrikan menyatakan, 32 obyek wisata di Dieng, terutama wisata berbasis air, perlu diselamatkan. Wisata berbasis air, Telaga Balekambang, Telaga Warna, Telaga Pengilon, dan juga Tuk Bimo Lukar, dijarah airnya oleh petani sampai surut. Keindahan pemandangan hijau di kawasan Sindoro-Sumbing juga tengah dipertaruhkan. Tak hanya hutan gundul, lahan pertanian semakin kritis. Dampaknya, sumber-sumber mata air muara Sungai Serayu, Lok Ulo, dan juga anak-anak sungai di kawasan paru-paru Jawa Tengah kian kritis. Kepala Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Wonosobo Dwiyama mengatakan, krisis air menjadi masalah serius. Khusus di Dieng saja, saat ini 125 dari 500 mata air telah mati. Sisanya, kalau tidak sumbernya surut, debit airnya pun turun saat kemarau. ”Sabuk-sabuk hijau kawasan pegunungan nyaris tidak lagi terbentuk, gundul dan tandus,” kata Dwiyama. Perluasan ancaman terhadap sumber-sumber mata air juga dirasakan di Temanggung dan Banjarnegara. Gunung tidak lagi bisa diandalkan sumber mata airnya. Sejak era tahun 1990-an hingga sekarang, debit air terus turun. Seperti mata air yang dimanfaatkan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Temanggung, setiap dua tahun terakhir, selalu menurun berkisar 10 hingga 20 persen. Kondisi ini diperkirakan terjadi karena makin parahnya kerusakan lingkungan yang terjadi di kawasan Gunung Sindoro-Sumbing. Kepala Subbagian Produksi PDAM Kabupaten Temanggung Martin Subiyanto mengatakan bahwa suplai air PDAM diperoleh dari 14 sumber air, dan 12 mata air di antaranya terletak di lereng Gunung Sindoro-Sumbing. Gejala penurunan rata-rata debit air ini juga terlihat dari kondisi tidak meluapnya air pada tandon penampung air selama Januari dan Februari. ”Padahal, pada tandon penampung air Gilingsari dan Tegaltemu, luberan air biasanya mencapai 1.000 meter kubik,” ujarnya. Berlimpah ruahnya air yang ditandai dengan gejala melubernya air di tandon dan bangunan penangkap air baru terjadi pada Maret. Padahal, empat tahun sebelumnya, gejala ini sudah terlihat sejak Februari, dan pada awal tahun 1990-an, bahkan sudah terjadi setiap Januari. Menurut Martin, kondisi ini diperkirakan terjadi karena semakin maraknya pembukaan kawasan hutan, yang menyebabkan semakin minimnya daerah resapan dan tangkapan air. Parsidi, Kepala Dusun Garung, Desa Butuh, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, mengungkapkan, ia juga merasakan debit tiga sumber air yang mencukupi kebutuhan warga Dusun Garung terus mengecil pada musim kamarau. Ketiga mata air tersebut adalah Sigandul, Pengkol, dan Bujid. ”Jika pada musim hujan, air di bak selalu luber dan terbuang percuma. Maka, pada musim kemarau, kami harus menunggu air bak penuh selama sehari,” katanya. Dusun Garung terletak 2 kilometer dari Gunung Sumbing. Itu terjadi akibat penggundulan hutan dan penjarahan kayu di kawasan hutan di lereng Gunung Sumbing. Para penjarah ini datang dari empat dusun di Desa Butuh, yaitu Dusun Garung, Dusun Butuh, Sijeruk, dan Cangklok, serta Desa Reco, Kecamatan Kertek. Mereka biasanya berangkat sekitar subuh dan sudah terlihat turun gunung dengan menggendong kayu pada sekitar pukul 09.00. ”Karena dilakukan pada pagi-pagi buta, aksi penjarahan kayu ini biasanya jarang diketahui oleh polisi hutan,” ungkapnya. Kayu yang ditebang tersebut biasanya dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Hutan yang sering menjadi sasaran para penjarah tersebut adalah kawasan hutan di pos peristirahatan II jalur pendakian Gunung Sumbing, yang hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari Dusun Garung. Pohon yang sering ditebang adalah jenis akasia. Aksi penebangan tersebut membuat 25 persen kawasan hutan terlihat gundul. Luasan total kawasan hutan mencapai sekitar 20 hektar. Krisis Di tengah krisis sumber-sumber mata air itu, mulai ada harapan akan ada perbaikan. Basori Setyawan (30), misalnya, ia dan keluarganya baru saja melalui sebuah ”revolusi besar” dengan tidak lagi merasakan kesulitan air bersih seperti dialami sembilan tahun terakhir. ”Karena air mencukupi, tahun ini saya tidak perlu lagi melakukan aktivitas mandi dan mencuci di sungai,” kata petani sayur-mayur yang tinggal di kaki Gunung Sindoro, tepatnya di Desa Kledung, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung, ini. Berhentinya kesulitan air ini, bagi Basori, merupakan hal yang patut disyukuri. Sekaligus ini menjadi suatu pertanda bahwa alam lingkungan di kawasan Gunung Sindoro yang telah rusak akibat penggundulan hutan dan penjarahan kayu kini mulai berangsur pulih. Penjarahan kayu marak terjadi pada saat krisis ekonomi tahun 1998. Karena tidak terkendali, Perhutani akhirnya membuka kesempatan bagi warga bercocok tanam sayur-mayur di kawasan hutan, dengan syarat pada bagian terasering harus ditanami dengan tegakan kayu. Kesepakatan ini sempat dipatuhi oleh warga. Namun, setelah tumbuh semakin tinggi dan besar, pohon-pohon itu akhirnya kembali ditebang oleh masyarakat, dan kawasan Gunung Sindoro kembali gundul. Dengan kondisi tersebut, lima tahun terakhir Perhutani menutup kawasan Gunung Sindoro untuk warga. Seiring dengan itu, upaya penghijauan dilakukan melalui penanaman bibit pohon dengan melibatkan warga. Ya, kesadaran wargalah yang akhirnya akan memulihkan kawasan Sindoro-Sumbing dari ancaman kehancuran. Semua harus berperan menjaga gunung tempat mereka berpijak, yang berarti juga menjaga mata air sumber kehidupan mereka. (han/egi/who) Post Date : 24 Desember 2008 |