Menimba Energi dari Timbunan Sampah

Sumber:Majalah Gatra - 09 Januari 2008
Kategori:Sampah Luar Jakarta
TPA Suwung menawarkan pengolahan sampah terpadu yang menghasilkan listrik. Tetap memperhatikan kelestarian alam.

PENGOLAHAN SAMPAH

Kehadiran turis tentu berarti hadirnya rezeki bagi industri pariwisata Bali. Tapi, di sisi lain, turisme juga membawa segudang sampah di Pulau Dewata itu. Sedikitnya 800 ton sampah setiap hari dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung seluas 25 hektare, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Denpasar.

Sampah itu berasal dari Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (wilayah Sarbagita) yang merupakan kawasan industri turisme. Tentu, jika gunung sampah itu cuma ditumpuk begitu saja, kawasan TPA Suwung tak akan muat lagi. Karena itulah, Badan Pengelola Kebersihan Wilayah Sarbagita (BPKS), lembaga yang mengurus TPA Suwung, menerapkan teknik pengolahan sampah yang disebut ''Galfad'', kependekan dari gasification, landfill gas, dan anaerobic digestion.

''Ini metode pengolahan sampah yang tak hanya menghasilkan listrik, melainkan juga berusaha menghijaukan kembali kawasan yang ada,'' kata Kepala BPKS, I Made Sudarma. BPKS bekerja sama dengan sejumlah pihak untuk mengelola sampah. Tak hanya itu. Sistem pengolahan sampah terpadu ini juga didaftarkan sebagai proyek dalam skema clean development mechanism pertama di Bali.

BPKS tentu tak sendirian melaksanakan proyek itu. Mereka bekerja sama dengan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI), yang merupakan perusahaan joint venture antara PT Navigat dari kelompok bisnis General Electric (GE) Energy dan Organics Group, perusahaan pengolah limbah dan energi alternatif dari Inggris.

Proyek itu diresmikan di Bali pada pertengahan Desember lalu. Sedangkan kerja sama di antara mereka terjalin sejak 2004. Ketika itu, PT NOEI memperkenalkan metode Galfad kepada BPKS untuk TPA Suwung. Sebelumnya, Pemerintah Kota Denpasar memang sempat kerepotan mengatasi sampah. Karena hanya ditumpuk, gunungan sampah itu memerlukan tempat yang baru.

Pemerintah pernah mencoba membuka sejumlah kawasan untuk dijadikan lokasi TPA. Tapi yang didapat justru tentangan keras dari masyarakat setempat. Maklum, siapa yang ingin tinggal berdekatan dengan tempat sampah? Apalagi, ini kawasan wisata dan turis. Pada saat itulah NOEI menawarkan teknik terpadu pengolahan sampah yang melibatkan gasifikasi (gasification), gas timbunan sampah (landfill), dan pengolahan anaerobik (anaerobic digestion) tadi.

Ketika itu, timbunan sampah di TPA Suwung mencapai 400.00 meter kubik, dengan rata-rata ketinggian mencapai 5 meter. Pada pegunungan sampah itulah dibuat sumur-sumur pipa untuk menangkap gas metan. Gas ini kemudian diolah, lalu disalurkan ke turbin untuk menghasilkan listrik.

Memang tak semua TPA dapat diambil gas metannya. Itu sangat bergantung pada kondisi sampah dan lokasi tempat pembuangan. NOEI pernah mencoba menimba gas metan di TPA sekitar Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) dan Bandung, tapi hasilnya tidak memuaskan. Setelah melalui sejumlah penelitian, TPA Suwung menjanjikan produksi gas sampah yang memadai.

Gas metan itu kemudian disedot dan diolah dengan mesin gas Jenbacher JGS 320 GS-BL produksi GE. Generator ini mampu menghasilkan listrik 1,06 MW. Pada saat ini, listrik yang dihasilkan memang belum bisa dinikmati warga. ''Ini masih dalam tahap uji coba. Listrik yang ada masih untuk keperluan internal,'' kata Robert Eden, Managing Director Organics Group.

Menurut Country Executive GE Energy Indonesia, Gatot Prawiro, teknologi Jenbacher itu dapat dikembangkan untuk TPA lainnya. ''Indonesia punya banyak landfill yang dapat dikembangkan untuk menghasilkan listrik dan mengolah sampahnya dengan terpadu,'' kata Gatot. Kini Navigat, distributor mesin Jenbacher, menjual pembangkit listrik itu ke sejumlah pelanggan.

TPA Suwung tak hanya mengandalkan gas metan untuk menghasilkan listrik. ''Metode Galfad menawarkan sejumlah cara lain untuk memproduksi listrik,'' ujar Robert. Misalnya, mengolah biogas yang dihasilkan dari proses pengolahan anaerobik dan proses gasification-pyrolysis.

Untuk itu, NOEI membangun proyek Galfad tersebut dalam beberapa tahap. Dari pembangunan instalasi pengolahan gas metan (landfill gas), pemasangan mesin pembangkit listrik 2 MW untuk mengolah gas tadi, pembangunan instalasi gasification-pyrolysis, hingga listrik yang dihasilkan diharapkan dapat mencapai 4,8 MW pada 2012.

Proyek itu pun tak melulu mengurus listrik, melainkan juga memperhatikan kelestarian lingkungan. Maklum, perbatasan TPA Suwung di bagian selatan berada di tepi pantai dengan hutan mangrove yang lebat. Awalnya, gunungan sampah meluber ke hutan bakau. Kini sejumlah parit selebar 20 meter dibuat di sekeliling perbatasan antara TPA Suwung dan hutan bakau. ''Ini untuk mencegah agar sampah tidak memolusi hutan bakau,'' kata Sudarma.

Selain itu, pengelola juga akan membenahi timbunan sampah lama. Timbunan ini bakal direlokasi menjadi bukit kecil setinggi 15-20 meter di bagian selatan TPA. ''Bukit sampah ini nantinya ditutup dengan sampah dan lumpur, selanjutnya dihijaukan kembali,'' tutur Sudarma. Harapannya, bukit-bukit sampah itu perlahan-lahan menjadi bukit-bukit hijau.

Banyak Cara Memancing Listrik

Jika tak tertangani dengan baik, sampah bisa bikin pusing kepala. Sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengolahnya menjadi bahan berguna. Berikut ini cara kerja sistem Galfad (gasification, landfill gas, dan anaerobic digestion) yang dikembangkan PT NOEI.

Pemilahan Sampah

Awalnya, sampah dipilah menjadi ''sampah basah'' dan ''sampah kering'' berdasarkan ukurannya. Materi kecil yang mengandung banyak bahan organik digolongkan sebagai sampah basah. Sedangkan sampah berukuran besar yang tidak organik adalah sampah kering, yakni kertas, kayu, dan lain-lain. Pemilahan ini dilakukan dengan mesin maupun secara manual oleh petugas.

Gasification-Pyrolysis

Sesudah dipilah, sampah-sampah itu masuk tahap gasification-pyrolysis, yakni tahap kombinasi antara teknologi gasifikasi dan pyrolysis. Awalnya, sampah-sampah kering diolah menjadi gas-gas hidrokarbon yang memiliki berat molekul rendah atau pyrogas. Inilah yang disebut proses pyrolysis. Selanjutnya, sisa atau residu proses pyrolysis diolah lagi pada unit gasifikasi, yang kemudian menghasilkan gas metan, karbon monoksida, dan hidrogen.

Energi yang dihasilkan dari proses pyrolysis dan gasifikasi kemudian disalurkan pada unit pembakaran isotermal. Untuk mencapai tingkat pembakaran yang sempurna --agar tidak memproduksi banyak gas polutan-- setiap komponen gas diatur sedemikan rupa supaya tetap pada temperatur konstan, 1.250 derajat celsius, setidaknya dalam dua detik. Nah, panas yang dihasilkan pada tahap ini kemudian disalurkan pada boiler, yang menghasilkan uap untuk memutar turbin listrik.

Sistem Landfill Gas

Sistem ini mengandalkan sumur pipa yang ditanamkan pada timbunan sampah untuk mendapatkan gas metan. Timbunan sampah itu dipilah dan diolah terlebih dulu dan diletakkan di tempat khusus (structured landfill cells). Kemudian gas sampah disalurkan ke unit pengolah gas untuk memutar turbin listrik.

Pengolahan Anaerobik

Sampah diletakkan pada tempat khusus agar mengalami pembusukan oleh bakteri pengurai. Proses alami ini menghasilkan gas metan, karbon dioksida, dan sejumlah gas lainnya. Dari tahap inilah gas-gas itu diolah dalam bioreaktor, yang selanjutnya menghasilkan bahan bakar untuk pembangkit tenaga listrik.Nur Hidayat



Post Date : 09 Januari 2008