|
KEPULAN asap dan aroma daging yang sedang dibakar seakan tak henti-hentinya muncul dari perkampungan pemulung yang berlokasi di perbatasan lahan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantar Gebang, Bekasi, dengan warga setempat, sepanjang Sabtu (2/10) lalu. Sejumlah laki-laki dan perempuan dewasa maupun anak-anak tampak asyik mengelilingi panggangan besi berkarat yang diletakkan di atas kayu-kayu bekas dari tumpukan sampah. BEGITU daging sapi yang ditusuk bambu terlihat sedikit menghitam, beberapa pemulung yang sudah tidak kuasa menahan liur langsung berebutan. Ritual cuci tangan sebelum makan pun terlupakan. "Pesta daging" di antara deretan gubuk yang disewa dari warga setempat seharga Rp 20.000 per bulan itu pun dimulai. Kelezatan daging sapi itu begitu menggoda. Mengalahkan ketakutan terhadap ancaman penyakit yang mungkin bisa diderita karena mereka mengonsumsi daging sapi yang seharusnya dimusnahkan. Bagi pemulung yang biasa berpenghasilan Rp 15.000-Rp 30.000 sehari, bisa makan daging sepuasnya tanpa harus membeli tentu merupakan kesempatan langka. Ini semua berawal dari adanya kabar yang beredar dari mulut ke mulut bahwa akan ada buangan daging ke TPA Bantar Gebang yang biasa dipakai untuk menampung sampah warga DKI. Pada Jumat malam, pemulung pun sudah terlihat berjaga-jaga di lokasi pembuangan yang sudah dipersiapkan. Begitu iring-iringan enam truk kontainer dari Pelabuhan Tanjung Priok datang ke Zona III C, Desa Sumur Batu, kerumunan pemulung yang sengaja datang dari gubuk atau tempat pembuangan sampah di zona lainnya semakin banyak. Belum juga truk kontainer berhenti sepenuhnya, pemulung dan warga sudah mengerumuni pintu belakang. Begitu petugas membuka pintu, tanpa dapat dikendalikan lagi, mereka berebut kardus-kardus berisi daging dari tangan petugas yang semula akan membuangnya. Malah ada yang mengambil langsung dari truk. Kalaupun ada kardus berisi daging yang dilempar ke lubang pembuangan, dengan cepat diambil para pemulung. Bisa mendapatkan daging sapi impor sedikitnya lima kilogram per orang, rasanya cuma mimpi. Maka, malam itu mereka tak perlu lagi merasa miskin. Setidaknya, mereka bisa menikmati daging sapi impor yang selama ini sungguh jauh dari jangkauan. Daging sapi impor dari Brasil yang awalnya hendak dimusnahkan itu dengan cepat beredar luas di tengah-tengah pemulung dan warga yang tinggal di Kelurahan Cikiwul dan Sumur Batu. Bahkan, penyebarannya pun sudah sampai ke pasar-pasar di Bekasi. MEMAKAN berbagai jenis makanan yang didapat dari tumpukan sampah di TPA Bantar Gebang sebenarnya bukan hal aneh bagi pemulung. Di kala mengais-ngais sampah, seorang pemulung bisa saja mendapatkan makanan yang kelihatannya masih layak untuk dinikmati. Kesempatan itu tidak pernah dilewati. Makanan yang kebetulan ditemukan mulai dari daging sapi, daging ayam, apel merah, jeruk mandarin, dan masih banyak lagi sangat sayang kalau dibuang. "Saya pernah waktu lagi nyari sampah melihat ada tiga kantong plastik besar yang rapi. Ketika saya buka, isinya ikan goreng yang masih bagus. Saya cium, tidak bau. Saya lap kedua tangan yang kotor ke baju, lalu saya cicipi sedikit. Rasanya masih enak. Langsung saya bawa pulang dan saya bagi sama tetangga. Tanpa dimasak lagi," kata Muhaimin (50), pemulung yang ada sejak TPA Bantar Gebang dibuka. Dengan bangga Muhaimin mengatakan tidak ada seorang pun anggota keluarga atau tetangganya yang sakit karena memakan ikan goreng buangan yang dibawanya. "Bisa jadi karena sudah terbiasa bekerja di tempat kotor, perut pun tidak pernah protes kalau dimasukkan makanan bekas, asal kondisinya masih bagus," katanya tersenyum. Toni (24), pemulung asal Indramayu, menuturkan, jika ada buangan khusus yang tidak dicampur dengan sampah-sampah basah lainnya, sesama pemulung saling memberi tahu. Menjelang bulan puasa atau akhir tahun, buangan khusus itu menjadi rezeki tersendiri bagi mereka. Seperti tahun lalu, kata Toni, pemulung mendapat banyak paha ayam mentah yang masih membeku yang dibuang dari supermarket. Alhasil, pemulung pun berebutan. Risiko diare atau sakit perut pun tidak lagi dipikirkan. Selama ini dia belum pernah berurusan dengan dokter gara-gara makan dari tumpukan sampah. "Kalau daging tidak bau, pemulung masih berani makan," kata bapak satu anak ini. Toni, yang memulung sejak berhenti sekolah dasar (SD) kelas lima SD di Indramayu itu, mengatakan, justru dengan menjadi pemulung dirinya bisa menikmati berbagai jenis makanan yang disebutnya cuma bisa dinikmati orang kaya. Bahkan, terkadang dia juga mendapat selembar uang yang cukup besar, mencapai Rp 50.000. Tetapi, tidak jarang pemulung menemukan bangkai, termasuk bangkai bayi yang sengaja dibuang. "Kata siapa pemulung sakit- sakitan? Biarpun hidup saya jorok, ya saya sehat saja. Semua itu sudah rezeki dari Yang di Atas. Bahkan, ketika dulu heboh biskuit beracun, saya tetap berani makan, tidak apa-apa. Pokoknya, asal makannya masih bagus, ya selama ini aman saja untuk dimakan," ujarnya. Hidup dengan sampah yang menjijikkan karena tidak ada pilihan lain untuk bertahan hidup, akhirnya juga mengubah pandangan Toni dan pemulung lainnya tentang kesehatan, kebersihan.(Ester L Napitupulu) Post Date : 05 Oktober 2004 |