|
Tubuh Encin (30) sedikit membungkuk dan tangannya bergerak cepat layaknya mencari sasaran. Sudah dua jam dia berada di atas tumpukan sampah yang bertempat di samping Waduk Saguling. Warga Desa Cihampelas, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, itu dengan cekatan mengambil sedotan plastik dan sampah sejenis. Sementara ketiga anaknya riang bermain di atas tumpukan sampah tanpa sedikit pun kekhawatiran bergelayut. Tidak hanya Encin. Di dekatnya ada Ida (36), Isot (40), Sukarsih (60), dan Mimin (45) yang melakukan hal serupa. Mereka adalah warga miskin yang mencari penghasilan tambahan dengan menjadi pemulung sampah. Kalau hujan turun, mereka mengurungkan niatnya karena risikonya tidak sebanding dengan penghasilannya. "Untuk sampah plastik, saya bisa mendapatkan sekitar Rp 4.000 per hari. Harga untuk sampah plastik yang dibeli oleh bandar mencapai Rp 1.000 per karung," kata Ida. Penghasilan Rp 1.000 itu pun tidak mudah didapat. Sebelumnya dia harus mengangkut sampah ke rumahnya dengan dipanggul di kepala, kemudian dicuci. Barulah para bandar sampah datang membeli ke rumah mereka masing-masing. Menurut Manajer Pengelolaan Lahan dan Waduk UBP Saguling Djoni Santoso, sampah adalah pemandangan yang kini banyak dijumpai di Waduk Saguling. Sampah tersebut umumnya berasal dari sampah rumah tangga. Padahal, sampah jenis tersebut, yang didominasi plastik, adalah bahan yang hanya bisa diurai dalam waktu ratusan tahun. Rp 1,1 miliar Gara-gara sampah pun, kata dia, pihak PT Indonesia Power menganggarkan Rp 1,1 miliar per tahun hanya untuk menanggulangi sampah. Anggaran tersebut digunakan untuk berbagai metode, seperti pengangkatan sampah menggunakan alat berat sampai penggunaan jaring sampah atau trash boom. Untuk alat berat, muncul rata-rata 300.000 meter kubik sampah yang berhasil diangkat ke tepian waduk dan diuruk dengan tanah. Terdapat dua titik pembuangan sampah di sepanjang Waduk Saguling yang juga menjadi gantungan hidup bagi warga sekitar seperti Encin dan rekannya. "Untuk trash boom, kami memasang tiga lokasi yang bertujuan untuk menghambat laju sampah yang terbawa air waduk. Jaring tersebut diikat dengan tali baja dengan kedalaman sampai 2 meter dan mengapung menggunakan gabus," papar Djoni. Penggunaan jaring sampah bukanlah cara yang paling jitu atau paling ampuh. Kalau sampah sudah terlalu menumpuk, ditambah arus yang sedang kencang, jaring terpaksa dilepas agar tidak putus sembari berharap agar sampah bisa tertahan di jaring selanjutnya. Tujuannya hanya mengurangi sampah yang mencapai instalasi PLTA. Sampah menjadi berkah bagi Encin, Ida, Isot, dan warga desa lain yang bermata pencarian sebagai pemulung, tetapi sekaligus memusingkan bagi pihak UBP Saguling. Dengan caranya sendiri, mereka bekerja sama untuk menanggulangi dampak dari perilaku manusia yang suka membuang sampah sembarangan. (Didit Putra Erlangga Rahardjo) Post Date : 20 November 2007 |